JAKARTA - Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung merekomendasikan mantan Sekretaris Daerah Tanggamus Mukhlis Basri menjalani rehabilitasi.

Selain Mukhlis, BNN juga merekomendasi dua tersangka penyalahgunaan psikotropika lainnya, yaitu Oktarika (PNS Bina Marga Provinsi Lampung) yang dikenal dengan PNS Cantik dan Doni (wiraswasta) untuk direhabilitasi.

PNS Cantik ini nasibnya masih dalam pengawasan serta harus menjalani rehabilitasi. Sebagai informasi, ketiganya ditangkap jajaran Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung bersama Nurul Irsan dan Edi Yusuf di kamar hotel di Bandar Lampung, pada Sabtu (21/1) malam lalu.

Dari pemeriksaan, polisi melepaskan Edi Yusuf dan Nurul Irsan karena dinilai tidak cukup bukti.

"Untuk pemakai, pencandu, dan korban narkoba maupun psikotrapika wajib direhab, karena ini amanat Pasal 54 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dan UU Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika," kata dokter klinik BNN Lampung Novan Harun saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (2/2).

Keputusan rehabilitasi bagi pemakai maupun korban narkoba dan psikotrapika, kata Novan, dilakukan berdasarkan keputusan tim assesment terpadu (TAT) BNN , yang terdiri tim hukum dan medis, dan unsurnya dari kejaksaaan, BNN, serta penyidik Polri.

"Keputusan rehab merupakan hasil keputusan tim TAT, bukan BNN saja, di situ ada jaksa, ada penyidik Polri, serta dua dokter dari BNN. Ini berlaku global bagi siapapun pengguna, pecandu, maupun korban narkoba dan psikotropika, wajib direhab," tegasnya.

Ia menjelaskan, rekomendasi BNN terhadap tiga tersangka penyalahgunaan psikotropika hanya bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, dan rekomendasi rehabilitasi ini tidak bisa mengintervensi putusan majelis hakim.

"Ini hanya sebagai bahan pertimbangan hakim memutuskan perkara, soal apakah nanti putusannya direhab atau dipidana itu hak majelis hakim," tandasnya.

Novan menjelaskan, keputusan rehabilitasi yang dilakukan TAT ada tahapan dan tes yang harus dilalui bagi pecandu, pengguna maupun korban narkoba dan zat psikotrapika.

Melalui tes ini, lanjut dia, bisa diketahui tingkat keparahan pengguna narkoba maupun psikotrapika. "Sedangkan rehab bagi kurir, bandar, dan pengedar narkoba tidak diberlakukan," tegasnya.

Dia menambahkan, pil happy five atau erimin yang mengandung nimetazepan atau istilah awamnya obat tidur/penenang, yang ditemukan di dompet Mukhlis Basri dan kotak rias Oktarika sebenarnya biasa digunakan untuk medis.

Kategorinya bisa menyebabkan ketergantungan ringan. "Happy five ini masuk kategori psikotrapika golongan empat, biasa digunakan pengobatan medis, tapi masalahnya happy five ini belum ada izin edar, sehingga masih dilarang digunakan tanpa resep dokter," jelasnya.

Direktur Narkoba Polda Lampung Kombes Abrar Tuntalanai mengatakan, hingga kini penyidik masih merampungkan berkas perkara Mukhlis cs agar bisa selesai. Ia menargetkan pelimpahan berkas Mukhlis cs ini bisa dilakukan Jumat (3/2) ini.

"Masih kami lengkapi, mudah-mudahaan Jumat (hari ini) bisa kita limpahkan, ke kejaksaan," kata Abrar.

Terkait rekomendasi rehabilitasi, kata Abrar, itu merupakan wewenang BNN. "Kalau rehab itu wewenang BNN," pungkasnya.

Terpisah, puluhan orang melakukan aksi unjuk rasa di depan Markas Polda Lampung, Kamis (2/2) siang. Mereka mendatangi mapolda mempertanyakan terkait tidak ditahannya mantan Sekda Tanggamus Mukhlis Basri oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung.

Mereka menilai ada tebang pilih dalam penegakan hukum terhadap penanganan kasus narkoba. "Perbutaan yang dilakukan Mukhlis sebagai pejabat pemerintah sungguh memalukan dan mencoreng institusi pemerintahan, kenapa tidak ditahan, padahal banyak masyarakat yang membawa obat terlarang terbukti ditahan," teriak para peserta demo.

Aksi demonstrasi yang sebagian besar terdiri dari kaum ibu ini juga membawa poster-poster yang bertuliskan kecaman terhadap Mukhlis, dan meminta Polda menahan Mukhlis. ***