JAKARTA - Komite IV Dewan Perwakilan Daerah melihat masalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di satu sisi diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintah, namun di sisi lain membebani masyarakat.

Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi dan transparansi mekanisme penerimaan PNPB, sehingga masyarakat bisa mudah mengawasinya.

"Bukan saja target penerimaan saja, tetapi pelayanan terhadap masyarakat yang menjadi tugasnya dibebankan ke masyarakat, itulah yang menimbulkan reaksi ke masyarakat", kata Ajiep Padindang, Ketua Komite IV ketika membuka Rapat Kerja dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, Kementerian Perhubungan RI, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI dan Kepolisian RI membahas Kebijakan dan Penerimaan PNPB di ruang rapat PPUU lantai 3, gedung DPD RI, Jakarta, Senin (6/2).

Menurut Sofwat Hadi, anggota Komite IV DPD RI, agar kenaikan tarif di beberapa lembaga tidak menimbulkan kegelisahan masyarakat, harusnya sebelum ditetapkan lembaga pemerintah harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan wakil rakyat. “Beban dari rakyat harus disetujui wakil-wakil rakyat yaitu DPR dan DPD, kami kaget belum pernah dibicarakan tapi langsung diumumkan dan dilaksanakan," ucap Sofwat Hadi, senator dari Kalimantan Selatan.

Masukan lain yang diungkapkan oleh Komite IV DPD RI yaitu mengenai sosialisasi kepada masyarakat mengenai penetapan tarif. Seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu mengenai kenaikan tarif pembuatan STNK-BPKB yang ditetapkan Polri. "Sosialisasi perlu dilakukan secara masif karena dengan perubahan tarif, masyarakat akan kebingungan," ujar Hafidh.

Mengenai pungutan liar (pungli) yang masih terus jadi masalah di masyarakat juga diungkapkan oleh Haripinto (senator dari Kepulauan Riau). "Biaya-biaya administrasi masuk akal tapi yang tidak resmi harus ditiadakan," kata Haripinto.

Ari Dono Sukmanto, Kabareskrim Polri menanggapi bahwa dalam menetapkan kenaikan tarif telah dilakukan konsultasi dengan Komisi 3 DPD RI. Kemudian ia menerangkan bahwa untuk meniadakan pungli yaitu dengan cara membuat sistem layanan secara online. Sebagai contoh, perpanjangan SIM tidak harus kembali ke tempat asal.

"Dengan layanan berbasis IT diharapkan akan lebih ringan dan juga tidak adanya kontak person sehingga pungli bisa ditekan, masyarakat juga bisa langsung bayar ke bank," jelas Ari Dono.

Sistem pelayanan online seperti ini juga telah dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN. Sementara itu, Noor Marzuki (Direktur Pembinaan Pengadaan dan Penetapan Tanah Pemerintah pada Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah) mengatakan bahwa Kementerian ATR/BPN telah melakukan sosialisasi dan publikasi tentang tarif yang ditetapkan.

Ia juga setuju atas masukan Komite IV DPD RI mengenai PNPB untuk tidak dijadikan fokus utama. "Buktinya tarif yang berlaku pada kami adalah tahun 2010 dan baru kami perbarui tahun 2015, sehingga dalam kurun waktu 5 tahun tersebut, PNPB bukanlah fokus utama kami," kata Noor Marzuki. ***