BANDUNG - Sandi Febriyana (17) seakan menjadi tumpuan harapan untuk memperbaiki masalah ekonomi yang menerpa keluarga pasangan Didi Kardian (52) dan Yayah (53), warga asal Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung, yang hidup nomaden selama hampir empat bulan ini.

Dari lima anak Didi dan Yayah, hanya Sandi yang beruntung menempuh pendidikan tingkat SMA/sederajat.

Sandi adalah anak keempat dari lima bersaudara, saat ini dia bersekolah di SMA PGRI 1 Bandung. Saudara sulungnya, Ade Yadi (28) hanya tamatan SMP, seperti pula bapaknya. Kakak kedua, Aldi Ramdan (23) putus sekolah saat kelas 2 SMP. Kakak ketiga, Diana (19) pun tidak melanjutkan ke jenjang SMA/sederajat. Sementara adik bungsunya, Faisal Mail (13) berhenti sekolah saat hampir lulus SD.

Sandi mengungkapkan, keterpurukan ekonomi yang menimpa keluarganya kian menjadi-jadi sejak sekitar triwulan pertama tahun 2016. Setelah bapaknya menjalani operasi hernia karena sudah bertahun-tahun mengidapnya, ketika itu, tak lama kemudian ibunya menderita penyakit stroke. 

Padahal, selama ini ibunyalah yang banyak menopang perekonomian keluarga, karena sang ayah jarang memberikan uang untuk keluarga. Didi biasa bekerja sebagai sopir tembak angkutan kota, dengan penghasilan yang tak menentu. Sementara Yayah bekerja sebagai pembantu rumah tangga, yang memiliki penghasilan tetap kendati tak seberapa besar. 

Saat Yayah stroke, praktis tak ada lagi penghasilan tambahan yang diperoleh dari perempuan asli Bandung itu. Ketiga kakak Sandi juga tak bisa banyak membantu kebutuhan keluarga, karena dengan pendidikan yang seadanya mereka sulit mencari pekerjaan. Apalagi, kakak pertama kaki kirinya patah dua kali karena kecelakaan.

Dengan kondisi perekonomian keluarga yang demikian, Sandi mengaku sempat memilih untuk meninggalkan sekolah dan beralih mencari uang dengan bekerja sebagai tukang parkir di minimarket yang ada di depan kantor Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung, yang berada tak jauh dari bekas pos satpam yang dipakai untuk tempat tinggal Yayah, Ade, dan Sandi. Selain mencari uang, Sandi pun memiliki waktu luang untuk mengurus ibu dan kakak sulungnya, yang memiliki keterbatasan dalam beraktivitas.

"Habis libur semesteran, saya enggak masuk sekolah, karena harus mencari uang dan menjaga ibu beserta kakak saya. Saya kerja jadi tukang parkir, karena enggak tahu mau kerja apa lagi. Markirinnya cuma dari jam 12 malam sampai jam 6 pagi, karena kalau pagi dan siang sudah ada tukang parkir yang lain. Ya lumayan, sehari bisa dapat Rp 10 ribu, kadang-kadang bisa sampai Rp 15 ribu," kata Sandi, pelajar kelas X jurusan MIPA.

Kepala SMA PGRI 1 Bandung Muslim Triaji Sundasyah menuturkan, pihak sekolah langsung merasa curiga ketika Sandi tidak masuk sekolah selama sekitar 10 hari. Setelah ditelusuri, alasannya ialah karena faktor ekonomi dan keluarga. Meski begitu, dia tetap mengupayakan agar Sandi bersekolah lagi.

"Kami cek ke rumahnya, ternyata sudah pindah. Dicari-cari lagi, akhirnya ketemu di pos satpam. Sewaktu ditemui dan kami tanyakan kenapa enggak sekolah, dia bilang bingung, karena ibunya sakit dan enggak ada sepatu buat sekolah. Sepatunya itu hilang karena disimpan di luar pos satpam. Akhirnya kami kasih sepatu dan bujuk dia biar mau sekolah lagi. Sekarang anaknya sudah sekolah seperti biasa lagi," kata Muslim.

Dia mengatakan, kondisi yang dialami keluarga Sandi itu sudah diberitahukan kepada aparat kewilayahan setempat, baik lurah maupun camat. Akan tetapi, hingga saat ini belum ditemukan solusinya. "Pak Camat mau memasukkan anak ini ke panti. Namun, ini bisa jadi dilema lagi, karena ibu dan kakaknya enggak ada yang mengurus," katanya. ***