JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Mahfud MD bersuara lantang terkait dugaan pelecehan yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan pengacaranya kepada kiai NU yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin.

Menurut Mahfud, meski Ahok sudah minta maaf, namun tidak serta-merta masalah selesai. Sebab, dugaan pelecehan dan fitnah Ahok kepada KH Ma’ruf Amin terkait dua hal, yakni soal pengaduan dan pelaporan. Terkait pengaduan, lanjut Mahfud, kasus ini bisa dianggap selesai karena Ahok sudah minta maaf dan KH Ma’ruf Amin serta NU sudah memaafkan.

"Ya, alahmadulillah, dengan permintaan maaf itu berarti betul dia (Ahok) memang telah melakukan sesuatu yang tidak pantas dan melanggar hukum pidana," ujar Mahfud MD dalam acara iTalk di iNewsTV.

Menurut Mahfud, di NU biasanya kalau orang sudah minta maaf, ya dimaafkan saja. Artinya itu pengakuan bahwa Ahok melakukan penghardikan, menghardik Ma’ruf Amin sebagai petinggi PBNU, bukan sebagai Ketua MUI.

"Kenapa? karena itu disebutkan menerima telepon dalam konteks sebagai PBNU yang memintakan izin agar Agus diterima bertandang ke PBNU," imbuh Mahfud.

Dikatakan Mahfud, pertanyaan yang dilontarkan Ahok dan pengacaranya kepada KH Ma’ruf Amin juga kan bukan soal perkara yang terkait dengan MUI, tapi persoalan kunjungan Agus ke PBNU.

"Tapi oke itu sudah pengakuan, sudah selesai dan menurut saya, bagi NU selesai. Tapi ingat, ini bukan hanya menyangkut NU. Ini juga menyangkut soal SBY," tambah Mahfud.

Saat ditanya apakah setelah Ahok meminta maaf, maka masalah NU dengan Ahok sudah selesai? Mahfud MD menegaskan bahwa dalam hukum dikenal dua istilah, yakni pengaduan dan pelaporan.

"Kalau pengaduan itu menyangkut hak personal dan hak organisasi. Pak Ahok sudah minta maaf, kalau NU memaafkan ya, selesai. Dan saya kira NU sudah memaafkan ya, mudah-mudahan," ucap Mahfud.

Tetapi jenis kedua itu pelaporan, yaitu ketika orang melihat terjadi sesuatu pelanggaran pidana, mereka melapor agar polisi tahu. Mahfud MD menjelaskan, pelaporan berbeda dengan pengaduan.

Pelaporan tidak bisa dicabut dan polisi tidak boleh menunggu laporan kalau sudah tahu, misalnya sudah muncul di berita dan TV, maka polisi harus segera menindaklanjuti tindak pidananya tanpa harus usah tunggu pelaporan.

Menurut Mahfud, dalam tindak pidana tertentu, seperti kasus yang tindak pidananya berat, polisi tidak boleh menunggu laporan.

"Sudah jelas kok, dia (Ahok) mengatakan memiliki bukti-bukti telepon. Dan harus diingat juga di dalam pernyataan Ahok maupun pengacaranya itu akan melaporkan Ma'ruf Amin yang katanya bohong," tambah Mahfud.

"Ahok melakukan penghardikan dan jelas-jelas mengatakan punya bukti pembicaraan SBY dan Ma’ruf Amin. Polisi harus mengambil tindakan tanpa harus ada laporan. Itu kewajiban hukum bagi polisi," tegas Mahfud.

Kalau pun polisi benar-benar tidak tahu soal itu, lanjut Mahfud, maka polisi harus memanggil orang mengetahui persoalan tersebut, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang merasa haknya dirugikan.

Menurut Mahfud, ucapan Ahok dan pengacaranya yang mengaku memiliki bukti percakan SBY dan KH Ma’ruf Amin merupakan intersepsi atau penyadapan ilegal. Kasusnya sama dengan pembunuhan, sehingga pelakunya bisa langsung ditangkap polisi tanpa harus ada laporan.

"Ini kan tidak perlu ada pelajaran, tidak perlu pengaduan, itu sama dengan ada pembunuhan. Tidak usah (pelaporan atau pengaduan) kalau sudah mendengar langsung ditangkap. Tidak usah menunggu laporan karena ini delik biasa," pungkas Mahfud MD.

Dalam kasus ini, lanjut Mahfud, ada dua delik. Pertama, delik aduan yang menyangkut hak SBY dan KH Ma’ruf Amin, yang dikatakan mengatur keluarnya atau membicarakan keluarnya sikap keagamaan. Itu kalau sudah dimaafkan oleh SBY dan KH Ma’ruf Amin, ya sudah selesai.

Tapi ada delik umum, yakni penyadapan atau intersepsi. Nah penyadapan itu bukan haknya SBY dan Ma’ruf Amin. Itu haknyua masyarakat.

"Ini (delik umum) polisi harus bertindak bahwa ada orang mengaku punya rekaman yang ilegal. Karena ilegal itu menurut pasal 31 dan pasal 42 ancamannya 10 tahun penjara dan denda Rp 800 juta," pungkas Mahfud MD. ***