TAPANULISELATAN - Ketidakterbukaannya pihak perusahaan terkait proyek PLTA di Marancar Tapsel, membuat sejumlah aktivis 'gerah'. Apalagi, proyek ini bertujuan untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak. Aktivis Sosial dan Lingkungan Tabagsel Hendrawan Hasibuan mengatakan, belakangan ini banyak kalangan masyarakat membicarakan tentang kehadiran perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sebagian kalangan elit masyarakat bangga atas kehadiran PLTA, namun kalangan masyarakat bawah justru khawatir atas keberadaan PLTA.

"Bukan tanpa alasan kekhawatiran masyarakat, salah satunya masuknya orang asing dari Tiongkok sebagai tenaga kerja dan masyarakat bawah (lokal) akhirnya hanya sebagai penonton," ungkapnya, Kamis (2/2/2017).

Menurut Hendra, pembangunan PLTA ini berada di daerah Kabupaten Tapanuli Selatan yang meliputi wilayah Kecamatan Sipirok (Desa Luat Lombang), Kecamatan Batang toru dan Kecamatan Marancar. Sedangkan perusahaan PLTA ini bernama PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE) yang merupakan anak perusahaan dari Dharma Hydro. Dan sesuai perkembangan, salah satu kegiatan yang akan dilakukan perusahaan ini yakni melakukan pembukaan lahan untuk akses jalan ke lokasi PLTA, jalur menuju lokasi memiliki dua akses. Satu dari wilayah Marancar dan satu lagi melalui wilayah Luat Lombang.

"Pembukaan lahan untuk akses jalan ini juga merupakan satu ancaman bagi tutupan lahan atau yang disebut dengan Land Cover," jelas pria yang dikenal frontal ini.

Ada beberapa ancaman yang dikhawatirkan seperti terbukanya akses bagi pelaku illegal logging untuk menebangi pohon dalam hutan. Disamping itu secara ekologi akan terjadi kerusakan habibat dan terganggunya ekosistem yang dapat merubah bentang alam yang sudah dijaga selama ini.

"Dan hal ini perlu dilakukan pengkajian dan pencarian solusi atas ancaman atas aktivitas Perusahaan PLTA tersebut," terangnya.

Pengelolaan lahan (Land Use) untuk akses jalan menuju lokasi PLTA harus benar-benar dipertimbangkan secara matang, baik secara ekologi maupun secara sosial serta keterlibatan masyarakat lokal. Karena jika hal ini salah olah, maka akan mengganggu kondusifitas daerah.

"Jika keberadaan perusahaan PLTA akan mengakibatkan konflik horizontal, maka lebih baik perusahaan PLTA hengkang dari bumi Tapanuli Selatan." Tegasnya.

Dan tidak bisa pungkiri, Hendra memprediksi, konflik lahan (Land Tenure) akan menjadi salah satu pemicu atas keberadaan perusahaan PLTA, jika PLTA tidak melakukan ganti rugi atas lahan-lahan masyarakat yang akan digunakan dalam pengelolaan aktivitas PLTA.

Didampingi Ade Chandra Tanjung dari DPP SHI (Sarikat Hijau Indonesia) Kota Padangsidimpuan, Hendrawan menyebutkan, akan melakukan pengawalan, pengawasan serta memberikan kritik terhadap Pembangunan PLTA yang salah urus nantinya.

"Karena jika salah urus tentu akan berakibat fatal bagi keberlangsungan ekosistem di masyarakat yang berada disekitarnya, jika hal ini yang akan terjadi lebih baik Perusahaan PLTA minggat dari Tanah Tapanuli Selatan," sebutnya.

Hendrawan juga mendesak pihak Perusahaan PLTA memberikan penjelasan terhadap masyarakat atas aktivitas yang akan dilakukan secara terbuka dan terperinci khusunya menyangkut soal AMDAL agar semua pihak khususnya masyarakat mengerti dan memahami kehadiran serta manfaat PLTA secara langsung bagi masyarakat dan ekosistem lainnya.