JAKARTA - Beberapa waktu lalu surat terbuka yang ditulis Sultan Tidore Husain Sjah untuk Presiden Joko Widodo beredar luas di tengah masyarakat dan menjadi pembicaraan khususnya di kalangan pemerhati dan praktisi politik. Tidak sedikit yang menilai surat itu cukup keras dan menohok.

Sultan Tidore, dalam surat yang beredar di jejaring media sosial itu, mempertanyakan wacana kerjasama pemerintah dengan negara tetangga Jepang dalam mengelola Pulau Morotai di Maluku Utara. Sultan Tidore bertanya apakah penyusunan rencana itu melibatkan masyarakat di Pulau Morotai, dan apakah rencana akan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat.

Pada bagian lain, Sultan Tidore juga mengatakan, dirinya berharap rumah NKRI dijaga dan dirawat bersama-sama sehingga semua pihak merasa betah dan nyaman tinggal di dalamnya.

Di masa lalu Tidore adalah sebuah kesultanan yang memiliki pengaruh begitu besar di wilayah timur kepulauan Nusantara. Berdiri di abad ke-11, Kesultanan Tidore berpengaruh hingga ke Papua negeri-negeri lain di Samudera Pasifik.

Tidore bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950, bersamaan dengan hancurnya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diciptakan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada Desember 1949. Di tahun 1956 Tidore berperan dalam pembentukan Provinsi Perjuangan Irian Barat. Di tahun itu pula Sultan Zainal Abidin diangkat sebagai Gubernur Irian Barat dan Tidore sebagai ibukotanya.

Kini Tidore berstatus sebagai kota di Provinsi Maluku Utara.

Ketika menyambut tamu-tamunya dari Komite Nasional Pembela Kedaulatan NKRI dan Martabat Bangsa (PKNMB) di Keratoran Kesultanan Tidore, Senin (30/1), Sultan Tidore mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak bermaksud lancang dan menggurui Presiden Jokowi lewat surat terbuka yang ditulisnya.

Delegasi Komite Nasional PKNMB yang berkunjung ke Tidore dipimpin oleh Ketua Dewan Penasihat PKNMB Laksamana (Purn.) Tedjo E. Purdijatno, Ketua Umum PKNMB Batara R. Hutagalung, dan Sekjen PKNMB Deddy A. Toekan. Ikut hadir dalam rombongan mantan Wakapolda Maluku Utara Irjen (Purn.) Hidayat Fabanyo, Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK), dan pengusaha muda Wicaksono.

Sultan Tidore didampingi oleh Perdana Menteri Kesultanan Tidore M. Amin Faarouq dan sejumlah menteri di Kesultanan Tidore.

Menurut Sultan Tidore, sudah barang tentu Presiden Jokowi lebih mengerti urusan pengelolaan negara yang sangat kompleks. Namun demikian, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang ingin merusak nama baik Presiden Jokowi baik sebagai individu maupun kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia.

"Saya menulis surat itu karena saya menganggap beliau (Presiden Jokowi) adalah salah satu Putra Adat Kesultanan Tidore. Beliau dikukuhkan sebagai Putra Adat ketika berkunjung ke Tidore bulan Mei 2015. Saya ingin membantu dan melindungi beliau dari berbagai kepentingan yang mungkin bisa merusak citra dan nama beliau," ujar Sultan Tidore dalam pertemuan.

"Saya ingin mengingatkan beliau. Dalam mengelola negara, beliau tahu lebih banyak. Tetapi mungkin ada hal-hal yang tercecer, saya ingin mengingatkan beliau untuk berhati-hati dan lebih memperhatikan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mesti dikelola secara baik, sehingga masyarakat bisa memberikan partisipasi yang maksimal dan tidak merasa termajinalkan dan tersisihkan," jelas Sultan Tidore.

Pertemuan antara Sultan Tidore dengan rombongan PKNMB digelar di teras keraton. Di dalam pertemuan itu, Laksamana (Purn.) Tedjo E. Purdijatno menyerahkan piagam penghargaan dan menobatkan Sultan Tidore sebagai pemimpin panutan dalam menjaga kedaulatan NKRI dan martabat bangsa.

"Saya sangat mengapresiasi jiwa nasionalisme Bapak dalam mempertahankan republik sehingga tidak jatuh ke tangan asing," kata Tedjo E. Purdijatno.

Mantan KSAL dan mantan Menko Polhukam itu juga menegaskan dirinya tidak setuju dengan rencana pemerintah menyerahkan pengelolaan pulau-pulau kecil kepada pihak asing. Bagaimanapun juga pulau-pulau terluar adalah bagian dari wilayah kedaulatan Republik Indonesia.

"Kita perlu menteladani sikap patriotisme, kenegarawan dan nasionalisme Sultan Tidore," katanya lagi.

Sementara Ketua Umum PKNMB Batara R. Hutagalung berharap patriotisme dan nasionalisme seperti yang dimiliki Sultan Tidore juga dimiliki oleh sultan dan raja adat lain.

"Kita harus menolak bila bangsa ini akan kembali dijadikan sebagai bangsa kuli di negeri sendiri. Kita harus jadi tuan rumah. Mengundang investor asing tidak salah. Yang salah adalah kalau investor asing itu kemudian menjadi pemilik, dan rakyat Indonesia kembali menjadi jongos," ujar Batara.

Batara juga mengatakan, upaya menyebarkan semangat patriotisme dan nasionalisme itu bisa dilakukan dengan memperbaharui penulisan sejarah di buku-buku pelajaran sejarah di sekolah.

"Sejarah yang diajarkan kepada anak-anak kita memperlihatkan superioritas bangsa penjajah dan ketidakmampuan pejuang-pejuang di masa lalu dalam menghadapi mereka. Jarang sekali ada kisah kemenangan. Salah satu kisah kemenangan yang harus dipopulerkan adalah kemenangan Sultan Nuku dari Tidore dalam menghadapi Belanda tahun 1801," ujar Batara R. Hutagalung.

Batara juga mengingatkan bahwa tanpa kontribusi dari Kesultanan Tidore, wajah NKRI tidak akan seperti yang kita kenal kini.

"Tidore adalah kerajaan besar pada masanya, dan berkuasa hingga seluruh Pulau Papua dan negeri-negeri lain di Pasifik. Tidore secara suka rela menyatakan bergabung dengan NKRI," demikian Batara R. Hutagalung. ***