GARA - gara hebatnya propaganda, sebagian besar umat Muslim tak sadar kalau Islam tengah dilumpuhkan gerakannya baik secara sosial maupun geliat politiknya; karena canggihnya propaganda. Bukan itu saja. Polri juga tak sadar jika ia sedang dihancurkan "citra" (public trust)-nya yang kelak berujung pada kebiri tupoksi (tugas pokok dan fungsinya) Polri, juga karena dahsyatnya mesin propaganda.

Segenap anak bangsa tak sadar kalau sedang dipecah-belah ("dikotak-kotak") melalui apa yang diistilahkan sebagai devide et impera, termasuk adu-domba secara halus antara TNI - Polri, anak-anak kandung revolusi kemerdekaan nasional NKRI. Padahal keduanya merupakan 'perekat bangsa.'

Alhasil, memecah-belah TNI-Polri maka pecahlah bangsa ini. Pelemahan internal NKRI sedang berlangsung di republik kita ini. Yang jelas, ketiga agenda di atas tengah berjalan secara masif dan sistematis jelang Pilpres 2019. Sepertinya ada invisible hand(tangan-tangan tersembunyi) dari kejauhan yang "meremote" kegaduhan politik di Bumi Pertiwi.

Sang invisible hand inilah "musuh bersama" (common enemy) bangsa ini. Dan uniknya, sebagian dari kita justru membela mati-matian si common enemy.

Maka inilah apa yang disebut dengan istilah Stockholm Syndrome. Apa hakikinya Stochold Syndrome itu? "Seseorang, atau kaum, kelompok, dan sebagainya, yang justru mencintai, membela bahkan mendukung total para sosok yang hendak dan tengah membinasakan dirinya."

Dengan demikian Stockhold Syndrome artinya: Kita tidak sadar (akibat ketidakpahaman), atau sebagian dari kita pura-pura tak sadar karena turut menikmati (bagian dari skema common enemy)? Pertanyaan selanjutnya: Siapa musuh bersama bangsa yang menyebabkan kemiskinan tak bertepi di negeri kaya raya ini?"

Maka jawabannya terletak dalam hakekat dari Stockhold Syndrome itu sendiri. Kegelisahan pokok yang mendasari tulisan saya ini adalah, ketika TNI-POLRI yang merupakan titik-tumpu dari tegaknya NKRI saja sedang dalam proses dilemahkan dari dalam, apalagi yag terkait langsung dengan elemen-elemen masyarakat.

Begini gambarannya. Saya menangkap sedang ada tren berulang seperti pada 1965 dan kejadian-kejadian sesudahnya. Yang agaknya sekarang sedang di daur ulang. Kalau dulu komunisto phobia, sekarang Islamophobia. Kalau dulu semua tanggungjawab politik tragedi 1965 ditimpakan pada PKI, padahal yang bermain ketika itu nggak cuma PKI. Sekarang segala urusan yang sebetulnya berakar pada krisis multi-aspek, semuanya ditimpakan penyebab hulunya adalah FPI dan Islam radikal atau garis keras.

Makanya kalau sekarang saya, atau beberapa kawan, terkesan membela FPI, bisa jadi juga karena menangkap gelagat itu. Dari dulu sampai sekarang meskipun saya tidak berpaham komunis, paling anti kalau diajak ikut-ikutan mengkampanyekan bahaya laten komunis atau PKI.

Karena saya menangkap ada skema besar yang justru mau tetap memanfaatkan tetap berlanjutnya isu PKI, untuk jadi tameng bagi para kapitalis global dan VOC-VOC gaya baru untuk ekspansi ke Indonesia. Dan melestarikan militerisme di Indonesia.

Padahal PKI selain memang sudah dibubarkan Pak Harto sejak 1966, ideologi komunis itu sendri sebenarnya tidak pernah mengakar di Indonesia. Dan para pejabat sipil-militer era itu juga sebenarnya tahu itu. Namun mereka secara sadar tebar isu bahaya laten PKI, karena dipakai untuk melayani skema asing dan para kompradornya.

Melumpuhkan skema Nasionalisme Kerakyatan yang sesungguhnya akar ideologisnya justru sama sekali tidak ada hubungannya dengan Komunis apalagi PKI. Lantas, kenapa sekarang kita merasa perlu membela FPI? Yang membela FPI atas dasar kesamaan paham politiiknya FPI tentu saja ada, terutama ya kader-kadernya FPI.

Tapi kenapa umat Islam lainnya, yang sebenarnya berpaham mahzab lain juga mendukung dan bersimpati? Karena merasakan adanya gejala atau tren yang sama seperti dulu.

Kalau dulu apa-apa di-PKI kan padahal sesungguhnya mau melumpuhkan skema dan kekuatan-kekuatan pendukung nasionalisme kerakyatan.

Jadi umat Islam yang waktu itu sebenarnya merupakan elemen strategis dan basis kekuatan gerakan nasionalisme kerakyatan, disibukkan untuk mengganyang PKI hingga akhir masa pemerintahan Pak Harto, padahal PKI-nya sudah modar 30 tahun sebelumnya.

Kenapa sekarang sepertinya ada gerakan mengganyang FPI? Karena skema yang sedang dikondsikan, yaitu mencegah bersatunya gelombang besar Nasionalisme dan Islam, menjelma menjadi menjadi skema nasionaslime kerakyatan yang dijiwai Pancasila dan UUD 1945 asli. Artinya, adanya skema yang sama dengan ketika pada 1965 apa-apa di-PKI-kan.

Maka distigmalah bahwa Habib Ritziek itu personifikasi Islam secara keseluruhan, jadi kalau mendukung itu, berarti pro Islam radikal. Nah, sebagai antagosnisnya, muncullah kelompok pro kebhinekaan. Padahal, kedua kelompok ini sudah masuk skenario Proxy War.

Seolah-olah, ada benturan antara Islam radikal versus Kebhinekaan. Padahal sasaran strategis dari mainan ini. Melumpuuhkan skema nasionalisme kerakyatan yang bertumpu pada bersenyawanya gelombang nasionalisme dan Islam. Dua modalitas sosial bangsa Indonesia yang paling berharga sejak dulu sampai sekarang.

Kalau benar kita sedang mengidap Stockholm Syndrome, maka serangan asimetris asing di sektor ideologi, politik-ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan, pada perkembangannya akan berjalan sukses secara paripurna. Tanpa melibatkan satu kompi pasukan sama sekali. Dan bahkan tanpa meletuskan satu peluru sama sekali. Hendrajit adalah Pengamat Geopolitik.