JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, dinilai membuka peluang terjadinya KKN yang sistemik dan masif.

Ketua Komisi XI DPR RI Melchias Markus Mekeng menegaskan, jika ada pengalihan aset negara, termasuk di BUMN, maka pemerintah wajib hukumnya melapor ke DPR untuk meminta persetujuan.

"Komisi XI berpandangan apapun bunyi PP terbaru selama dia berhubungan dengan keuangan negara harus dibahas di Komisi XI," ujar Melchias Markus Mekeng di Jakarta, Rabu (18/1).

Menurutnya, DPR harus dilibatkan jika bicara soal sisi keuangan negara. BUMN dan asetnya adalah resmi milik Kementerian Keuangan wewenangnya, bukan Kementerian BUMN.

"BUMN itu kan milik menteri keuangan. Nah kalau menteri keuangan melakukan penjualan, pengalihan aset harus lapor ke komisi XI dan meminta persetujuan itu intinya," tegasnya.

"Pokoknya kita mengacu kepada keuangan negara. Mereka jual aset, alihkan aset intinya ada perpindahan kita harus dilaporkan. Kita bisa panggil mereka," lanjut Mekeng.

Komisi XI DPR akan meminta penjelasan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait PP tersebut dalam rapat kerja. "Kita akan raker sama menteri keuangan. Kita tanyakan," jelasnya.

Ekonom Dradjad Harry Wibowo berpandangan, sesuai dengan UU 1 tahun 2004, dalam Pasal 2, jelas menyebutkan bahwa pengelolaan investasi negara termasuk dalam perbendaharaan negara. Jadi, saham pemerintah pusat di BUMN, BUMD maupun swasta termasuk dalam perbendaharaan negara.

Sedangkan, Pasal 1 UU tersebut menyebut bahwa yang dimaksud dengan perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.

"Ringkasnya, saham pemerintah di BUMN adalah bagian dari perbendaharaan negara, yang ditetapkan dalam APBN," kata Dradjad.

Selain itu, tambahnya, saat ini sudah tidak boleh lagi ada pos atau kekayaan yang sifatnya non-bujeter atau di luar APBN seperti pada masa Orba. Praktik non-bujeter ini menjadi sumber KKN sistemik dan masif.

"PP 72 tersebut mengembalikan lagi pos dan transaksi non-bujeter. Artinya PP 72 membuka kembali peluang KKN yang sistemik dan masif," tegasnya.

Untuk diketahui, Pemerintah telah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) terkait BUMN dan Perseroan Terbatas (PT).

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.

Namun, aturan yang belum ramai diketahui kalangan termasuk DPR ini menuai kontra. Bahkan aturan tersebut dinilai berbahaya karena saham BUMN yang dimiliki negara dapat berpindah tangan ke siapapun tanpa diketahui oleh DPR.***