JAKARTA - Sunarsih menerobos barisan pengawal berbadan tegap. Ia tiba-tiba memeluk Prabowo Subianto. Perempuan 55 tahun itu tak peduli dengan ratusan orang di sekitarnya. Ia juga tak peduli dengan sorot kamera wartawan yang membidik purnawirawan jenderal bintang tiga itu saat berkunjung ke Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (7/1). Kesederhanaan dan kepolosan Sunarsih tertangkap kamera. Memakai baju panjang lusuh berwarna biru, ibu lima anak ini menangis tersedu-sedu dalam pelukan eratnya kepada Prabowo.

"Pak, tolong kami, Pak. Tolong...," ucapnya terbata-bata.

Langkah Prabowo pun sempat terhenti. Di bawah sengatan matahari, sorot mata Prabowo mengarah ke sekitar lokasi yang penuh puing reruntuhan bangunan dengan tenda-tenda dan bedeng-bedeng di atasnya. Ia lantas memegang pundak Sunarsih sembari bergumam lirih di tengah keriuhan warga yang menyambutnya.

Tangis Sunarsih kian menjadi-jadi. Ia kian tak kuat menahan perasaan campur aduk di hatinya. "Tolong kami, Pak Prabowo. Hanya Bapak yang peduli sama kami," katanya lagi.

Sesaat, semua membiarkannya dalam suasana sedih itu. Sorot kamera terus mengarah ke nenek enam cucu tersebut.

Sunarsih mengusap air matanya dengan jilbab hitam yang dikenakan. Sunarsih yang merasa diperlakukan secara tak manusiawi mengadu meminta keadilan. Perlakuan sewenang-wenang yang diterimanya membawanya dalam kehidupan yang jauh dari kata layak. Hidup di tenda dengan puluhan keluarga lain di atas puing-puing bangunan.

Ia kembali menangis saat menceritakan kehidupannya selama sembilan bulan di lokasi bekas gusuran. Makan hanya seadanya dengan mengandalkan bantuan dari orang lain. Ia tahu, tenda yang melindunginya dari panas dan hujan serta kadang makanan adalah bantuan dari mantan Danjen Kopassus itu. Dan, di tengah kesengsaraan yang dialami warga, ada yang masih menambahi derita mereka.

"Air di sini sudah dimatiin, nggak tau siapa yang begitu. Kami sekarang harus beli untuk air," katanya.

Sunarsih terlihat pasrah ketika berucap tentang itu. Sunarsih hanya memegang keyakinannya, bahwa Allah selalu bersama mereka yang lemah dan terus dilemahkan.

Suami Sunarsih telah meninggal 11 tahun lalu. Saat Kampung Akuarium digusur April 2016 lalu, Sunarsih sudah hidup seorang diri. Dan, kini ia bertahan di dalam satu tenda berisi 19 keluarga. Tenda yang berdiri di atas puing bangunan yang dulu ditinggalinya selama 36 tahun. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

Ia tak ingin pindah dari Kampung Akuarium. Kampung yang telah menjadi tempat tinggal, mencari nafkah, dan membesarkan anak-anaknya bersama almarhum suaminya. Apapun yang terjadi, ia akan bertahan.

"Saya sampai mati akan di sini," ucapnya.***