JAKARTA - Rumor reshuffle (perombakan) kabinet jilid III menguat. Presiden Joko Widodo dikabarkan menawarkan jatah menteri kepada semua partai politik, termasuk partai yang sebelumnya menjadi 'oposisi', kecuali Partai Demokrat.

Partai Gerindra misalnya. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menyatakan partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu pernah mendapat tawaran bergabung dengan koalisi partai pemerintahan pendukung Presiden Joko Widodo. Arief mengatakan, tawaran itu tiba seiring dengan kabar rencana Presiden merombak kabinet untuk ketiga kalinya.

Gerindra, kata dia, akan mendapat bagian empat kursi: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Ketenagakerjaan; Menteri Pertanian; dan Kepala Staf Kepresidenan. “Orang dekat Jokowi menyampaikan langsung tawaran itu,” ucap Arief kepada Tempo, Rabu 4 Januari 2017.

Seorang pejabat mengatakan gagasan merombak kabinet itu bergulir sejak November lalu. Rencana reshuffle jilid III ini, kata dia, melibatkan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, yang berseberangan dengan pemerintah.

Dalam perombakan kabinet jilid II pada Juli lalu, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, yang semula beroposisi, bergabung dalam koalisi. Adapun reshuffle kabinet jilid I berlangsung pada Oktober 2015.

Menyusul dua partai itu, Partai Amanat Nasional bergabung dengan koalisi pemerintah pada September 2016. Walhasil, ketiga partai tersebut kini bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura sebagai pendukung pemerintah. Jika Gerindra dan PKS jadi bergabung, tinggal Partai Demokrat yang beroposisi.

Gerindra belum menentukan sikap terhadap tawaran Jokowi. Arief mengatakan, Gerindra berpegang teguh sebagai partai di luar pemerintahan. Selain itu, Gerindra telah resmi mengusung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden tahun 2019. Dengan demikian, dia mengimbuhkan, tak etis bagi partainya menerima tawaran itu. “Tapi semuanya bergantung pada Pak Prabowo.”

Ketua Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menegaskan memang ada tawaran lisan untuk bergabung ke koalisi pemerintah. Ia tak menyebutkan nama wakil pemerintah yang menawarinya. Sufmi juga tak menjelaskan waktu pemberian tawaran itu. Hanya, kata dia, hingga kemarin belum ada surat resmi dari Istana. “Kalau ada surat resmi, kami akan bahas di rapat pimpinan nasional,” katanya.

Juru bicara PKS, Mardani Ali Sera, menyatakan partainya juga menerima tawaran yang sama. Namun, kata dia, PKS menolak tawaran itu. “Kami memilih jadi penyeimbang pemerintah.”

Adapun Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan mengatakan partainya tak pernah mendapat tawaran jabatan menteri atau jabatan lain yang setara dengan menteri dari Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia juga mengatakan partai yang dipimpin oleh Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono ini sama sekali tak berminat masuk dalam pemerintahan. “Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla sudah tahu posisi Partai Demokrat. Jadi kami tak pernah mendapat tawaran,” kata Sjarifuddin.

Ia memastikan Demokrat akan tetap berada di luar pemerintahan hingga Pemilihan Umum 2019. Demokrat, ujar Sjarifuddin, merasa tidak akan mendapat masalah jika ternyata kelak menjadi satu-satunya partai oposisi. Ia mengakui, jika benar Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera telah ditawari masuk dalam kabinet, Demokrat menjadi satu-satunya partai yang tak pernah diajak bergabung. Meski demikian, ia memastikan Demokrat akan terus mengkritik kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada rakyat. “Kalaupun pasti kalah dalam pengambilan keputusan di parlemen, kami akan tetap berseberangan dengan pemerintah,” tutur dia.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan belum tahu perihal tawaran kursi menteri dan jabatan setara kepada Gerindra dan PKS. Ia mengatakan Presiden meminta semua menteri tetap bekerja optimal tanpa terpengaruh kabar perombakan kabinet. “Presiden sudah menjelaskan tak ada reshuffle,” kata dia.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Gun Gun Heryanto berpendapat Presiden Joko Widodo sebaiknya tak mengajak Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera untuk bergabung dengan pemerintahan. Argumentasinya, jumlah partai pendukung pemerintah selalu tak berbanding lurus dengan mulusnya kebijakan dan terwujudnya kepuasan publik. “Saya akan melihat sejarah. Koalisi gendut hanya menjadi ilusi,” kata Gun saat dihubungi.

Gun Gun lantas merujuk pada dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki banyak partai politik dalam koalisi pendukung pemerintah. Tapi sejarah mencatat, beberapa partai politik anggota koalisi justru menjegal sejumlah kebijakan krusial dari presiden keenam tersebut, seperti saat hendak menaikkan harga bahan bakar minyak. “Koalisi hanya  formalitas saja nantinya,” ujar Gun.***