BANDA ACEH - Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati mengisi Kuliah Umum di Gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Kamis (5/1/2017). Menkeu juga didampingi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Soedarmo. Kuliah umum dengan tema "Peran Fiskal Dalam Membangun Perekonomian Inklusif" itu turut dihadiri oleh ribuan mahasiswa, para akademisi dan pejabat dari Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA).

Dalam kuliah umumnya, Sri Mulyani menyampaikan beberapa materi terkait pemberdayaan instrumen keuangan negara melalui APBN untuk menciptakan pembangunan yang merata serta mengurangi  ketimpangan penghasilan penduduk Indonesia.

Menurutnya, ketimpangan yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dilihat dari masih tinggi gini rasio, yaitu menggambarkan ukuran ketimpangan dengan nilai berkisar antara nol hingga satu. Makin tinggi indeks gini, menunjukkan besarnya ketimpangan.

Baca juga: Menkeu: Kemiskinan Tantangan Terbesar dalam Pembangunan

“Indonesia saat ini rasio gininya mencapai 0.39, itu masih tinggi. Kita harus berkerja semaksimal mungkin dengan menyusun kebijakan yang lebih merata seperti harapan Presiden yang menginginkan gini rasio Indonesia terus turun,” katanya.

Sri Mulyani mengatakan jika satu negara yang memiliki rasio gini tinggi, maka ketimpangan dalam masyarakat akan sangat jelas dan melemahkan kemampuan satu negara untuk tumbuh dalam jangka panjang.

Melalui instrumen fiskal seperti APBN, kebijakan moneter bank sentral serta kebijakan ekonomi struktural berupa paket ekonomi yang kompetitif, Sri Mulyani berharap Indonesia mampu menurunkan angka ketimpangan menjadi lebih rendah.

Salah satu komponen yang penting dalam APBN kata Sri Mulyani adalah penerimaan pajak non-migas, yaitu penerimaan pajak dari wajib pajak, baik itu individu maupun organisasi, yang menurutnya masih rendah.

“Dari 30 juta-an peserta wajib pajak di Indonesia, hanya sebagian kecil yang menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak, dan yang membayar pajak secara teratur tidak sampai 10 juta peserta,” ujarnya.

Menurut Sri Mulyani, rendahnya partisipasi masyarakat terutama para wajib pajak menyebabkan anggaran APBN selalu defisit, sehingga negara harus berutang karena angka belanjanya yang lebih tinggi.

“Itulah makanya, kita lakukan beberapa kebijakan di bidang pajak seperti Tax Amnesty dalam rangka meningkatkan pendapatan negara sehingga proses pemerataan kesejahteraan masyrakat dapat tercapai melalui tranfer dana ke daerah dari pemerintah pusat,” jelasnya.

Menanggapi keberhasilan program tax amnesty tersebut, Sri Mulyani mengatakan jumlah peserta yang ikut dalam program itu masih rendah karena baru mencapai 2 persen dari total jumlah wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT.

“Jumlah wajib pajak ini pun masih sedikit. Seharusnya dengan total jumlah penduduk 200 juta jiwa saja, jumlah wajib pajaknya mencapai 60 juta, dengan itu pemerintah dapat maksimal menggunakan instumen fiskal untuk kesejahteraan bangsa Indonesia,” pungkasnya.