MEDAN – Marthin Luther King mengatakan, kecerdasan yang berkarakter  adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan karakter pun kemudian menghasilkan sembilan pilar karakter yang ternyata berasal dari nilai-nilai luhur universal.

Kesembilan pilar itu yaitu pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kedua, kemandirian dan tanggungjawab, ketiga kejujuran/amanah, diplomatis, keempat, hormat dan santun, kelima dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama, keenam percaya diri dan pekerja keras, ketujuh, kepemimpinan dan keadilan kedelapan, baik dan rendah hati, dan kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. 

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja.

Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu.

Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah.

Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah.

Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Pendidikan karakter peserta didik akan berjalan dengan baik apabila guru yang mengajar memiliki kemampuan dalam membangun rasa percaya peserta didik.

Saat ini, seorang tenaga pendidik dituntut tidak hanya menguasai materi pengajaran yang diajarkan, tapi mereka juga harus memiliki kemampuan dalam ’menyelipkan’ pengajaran budi pekerti dalam setiap materi pengajarannya.

Pelajaran matematika atau pelajaran lainnya juga perlu memberikan pengajaran tentang betapa pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didik. Dengan cara itu, peserta didik akan memiliki kemampuan yang terukur dan tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak masuk akal.

Selain pengajaran di sekolah, orangtua di rumah juga memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter anak.