MEDAN - Psikolog Irna Minauli menganalisis, dari gejala yang dialami SR (15), korban pemerkosaan delapan orang teman sekolahnya, di Siantar, (26/12/2016), terlihat nyata bahwa korban mengalami rape trauma syndrome (sindrom trauma perkosaan) yang beberapa gejalanya sangat mirip dengan PTSD (Post-traumatic stress disorder).

SR (15) mengalami tindakan perkosaan dan penganiayaan dengan disundut api rokok di bagian paha dan kemaluannya.

Saat ini SR masih trauma, dia sering kali pingsan dan sesaat kemudian sadar dan kembali menangis. Pandangan matanya hanya diarahkan ke asbes rumah tempat dia dirawat.

Menurut Irna Minauli, korban rape trauma syndrome biasanya akan merasakan emosi yang campur aduk.

Mereka merasa sangat jijik dengan dirinya dan pada saat yang sama mereka juga merasa sangat marah dan sedih.

Mereka juga sering mengalami flashback sehingga peristiwa pemerkosaan itu seolah diputar kembali secara berulang dalam pikirannya.

Mereka juga sering dihantui mimpi buruk (nightmare) dan merasa diteror dalam mimpinya (night terror) sehingga mereka sering mengalami gangguan tidur.

"Akibatnya mereka menjadi sangat tertekan dan mengalami depresi. Mereka akan menarik diri dari lingkungan sosialnya dan merasakan ketidaknyamanan untuk keluar rumah atau bertemu dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Mereka mengalami shock sehingga mengalami keguncangan dalam diri mereka," ujar Irna Minauli, Senin (26/12/2016).

Irna Minauli memaparkan korban yang mengalami perkosaan akan mengalami trauma yang berkepanjangan jika tidak ditangani secara baik.

"Trauma diakibatkan karena mereka tidak mengantisipasi bencana yang akan dihadapinya. Ketika dijemput temannya, korban pasti tidak menyangka bahwa ada bencana besar yang sedang menghadangnya."

"Korban perkosaan juga tidak pernah dimintai persetujuan atas perilaku tersebut sehingga mereka menjadi sangat marah dan benci atas perlakuan yang diterimanya. Belum lagi adanya tindakan pemaksaan dan kekerasan yang dialaminya yang menjadi tipikal dari tindak kekerasan," ujarnya.

Menurutnya dalam kasus yang dialami oleh SR, orang-orang terdekatnya harus mengetahui bahwa jiwa dari si anak tersebut sedang tidak stabil, yaitu sering marah dan depresi yang muncul secara bergantian.

"Itu sebabnya orangtua dan orang sekitarnya sebaiknya tidak secara berulang menanyakan kejadian yang dialaminya."

Jika korban belum siap untuk menceritakannya sebaiknya dibiarkan terlebih dahulu. Sebaiknya untuk mengorek informasi dari korban juga diperlukan keterampilan yang khusus," ujarnya.

Psikolog yang juga menjabat Direktur Minauli Consulting ini memaparkan bahwa tindakan perkosaan secara berkelompok yang dialami oleh SR tidak terlepas dari banyaknya tontonan hubungan seksual.

Hubungan itu banyak dilakukan dengan tema gank bang yang mungkin menjadi pematik ide dari delapan terduga pelaku perkosaan.

"Remaja umumnya tidak berani melakukan tindak kejahatan secara perseorangan sehingga ide untuk melakukan secara bersama dianggap menjadi lebih aman bagi diri mereka."

Akan tetapi, berbeda dengan tema gank bang yang biasanya dilakukan atas persetujuan, biasanya pada kasus perkosaan kelompok lebih didasarkan pada manipulasi (penipuan)," ujarnya.