JAKARTA - Hari-hari ini Presiden Jokowi terus melakukan komunikasi politik yang intensif dengan para unsur pemimpin bangsa (mantan Presiden, Ketua Umum Partai Politik Besar, Ormas Keagamaan dan lain-lain). Proses komunikasi politik ini tentu saja baik dan memang diperlukan untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah bangsa.

Pengamat komunikasi dan media Agus Sudibyo, menegaskan proses komunikasi politik tidak boleh berhenti sekedar tindakan berkomunikasi, tetapi  harus benar-benar berkontribusi pada penyelesaian masalah bangsa hari ini, katakanlah situasi politik yang memanas oleh demonstrasi Umat Islam menuntut pemidanaan atas kasus penistaan agama oleh Cagub DKI, Basuki Tjahaya Purnama.

"Proses komunikasi politik Presiden Jokowi harus berdampak langsung kepada kemampuan pemerintah mengendalikan situasi politik dan mencegah  gejolak politik yang semakin memanas dengan munculnya demonstrasi lanjutan dan seterusnya," kata Agus kepada GoNews.co di Jakarta, Selasa (22/11/2016).

Apalagi, sambung Agus, proses komunikasi politik itu telah sedemikian rupa dipertontonkan kepada masyarakat melalui media massa, sehingga  harapan masyarakat pun terlanjur  membumbung tinggi terhadap kemampuan pemerintah  mengembalikan situasi politik menjadi tenang seperti sedia kala. 

"Jika gejolak politik dan demonstrasi SARA ternyata masih terus terjadi dan suasana politik belum juga dapat dikendalikan, masyarakat dapat menilai proses komunikasi politik yang dilakukan Presiden Jokowi menemui gagal atau hanya sekedar retorika saja," ujarnya.

Ditambahkannya, jika ini terjadi, masyarakat akan semakin resah dan perlahan mulai kehilangan kepercayaan kepada Presiden Jokowi. Hal ini  harus diantisipasi Presiden dan pembantunya.

Pengajar di Akademi Televisi Indonesia (AVI) itu mengatakan, dengan sengaja mempublikasikan proses komunikasi politik Presiden Jokowi dengan berbagai pihak di atas tidak selalu bernilai strategis, namun juga mengandung resiko politik yang serius, yakni mengecewakan masyarakat yang terlanjur dibikin berharap banyak.

Menurut Agus, satu yang patut disayangkan adalah, Presiden seperti single fighter dalam menangani gejolak politik belakangan ini. Presiden, tambahnya, seperti melakukan sendiri kerja-kerja komunikasi politik. Lalu di mana para menteri, para penasehat presiden? Menjadikan Presiden sebagai single-fighter mungkin dapat menimbulkan kesan positif, bahwa Presiden benar-benar hadir menyelesaikan masalah.

"Namun hal ini juga bisa menjadi boomerang. Jika  gejolak politik masih terus terjadi, maka seluruh kekecewaan akan  tertuju kepada Presiden seorang diri,” kata Agus. ***