MEDAN- Dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan, rumah sakit diwajibkan untuk melakukan akreditasi. Bahkan, untuk akreditasi, rumah sakit harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit, sekitar ratusan juta rupiah.

Selain itu, untuk meraih kelulusan akreditasi, hal ini tidaklah mudah, dan butuh pembenahan di sana sini. Begitupun, bagi rumah sakit, hal tersebut tidak masalah. "Biaya yang dikeluarkan untuk penilaian akreditasi sekitar Rp 100 juta, tapi itu tidak masalah," ujar Direktur RS Sari Mutiara dr Tuahman F Purba SpAn, Jumat (18/11/2016).

Untuk biaya itu, kata Tuahman, digunakan untuk sosialisasi kepada pegawai, dokter dan membuat standar operasional pelayanan serta melengkapi fasilitas. Juga untuk biaya transport tim Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). "Kita yang mengundang atau meminta mereka (Tim KARS) dari Jakarta untuk datang, biayanya juga buat ruang komite medik, panitia dan lainnya," ujarnya.         

Hal ini, lanjut Tuahman, sebanding dengan pencapaian yang dimaksud. Artinya, adanya tim akreditasi membuat rumah sakit menjadi mandiri. Sebabnya, tim KARS melakukan penilaian kinerja rumah sakit seperti pegawai dan dokter serta melatih keseluruhannya.

Bahkan, katanya lagi, RSU Sari Mutiara yang tahun lalu sudah mendapat akreditasi dasar, pada 5 Desember nanti kembali mengundang Tim Akreditasi untuk melihat apakah perubahan yang dilakukan mereka sudah sesuai  dengan peraturan Menteri Kesehatan RI.

"Inikan sama dengan kita membuat produk dan disahkan pemerintah, jadi layak pakai. Kalau pemerintah gak datang, kita rugi juga, siapa yang melihat kinerja kita dan orientasinya pada pasien," ucapnya.                                              

Dengan adanya akreditasi, Tuahman juga merasa bersyukur karena perlunya bukti untuk kelayakan pelayanan. "Ini juga untuk peningkatan kualitas pelayanan," imbuhnya.

Hal senada juga dikatakan Wakil Direktur Administrasi Umum dan Keuangan RS Imelda Dr Imelda Liana Ritonga S.Kp, M.Pd, Mn. Saat ini manajemen sedang mempersiapkan penilaian akreditasi. "Mungkin biayanya puluhan juta yang ditanggung swadana rumah sakit," katanya.

Berbicara keuntungan, Imelda menjawab secara blak-blakan keuntungan akreditasi yang diperoleh. Salah satunya, mereka bisa belajar bagaimana mengelola rumah sakit dengan benar dan lebih baik lagi.

"Lebih tahu bagaimana standarnya, dan prosedurnya dari tim akreditasi. Keuntungannya kita dapat pengalaman bagaimana untuk lebih memenuhi standar yang ditetapkan agar memenuhi kualifikasi. Kita terhindar dari yang tidak diinginkan, walaupun selama ini tidak ada masalah, misalnya bagaimana obat agar tidak tertukar dan belajar sesuai standar," katanya.                                              

Maka, lanjutnya, dengan pelayanan yang lebih baik, tentunya pasien akan lebih diuntungkan. "Jadi, tiap orang belajar atau kuliah kan butuh biaya. Kita positif thinking aja karena kita belajar. Kalau soal biaya itu signifikan, selain untuk biaya transport tim, juga untuk biaya sosialisasi, seminar, workshop dan kelengkapan rumah sakit," ujar Imelda.                                                

Secara terpisah, Direktur RSUD Dr Pirngadi Medan dr Edwin Effendi mengatakan untuk biaya akreditasi yang dikeluarkan, selain memakai anggaran rumah sakit sebesar Rp 200 juta, mereka dibantu Kementerian Kesehatan RI sebesar Rp 200 juta, dan total keseluruhannya mencapai Rp 400 juta.

"Biaya itu, selain untuk biaya tim penilai, juga pelaksanaan diklat, workshop, pembenahan sarana dan prasarana dan lainnya," katanya.   

Meski mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, hal ini cukup sebanding dengan pencapaian yang mereka dapatkan "Malah, kalau tidak diakreditasi, kita rugi karena tidak memenuhi standar kompetensinya. (Tapi, kalau sudah terakreditasi) kita sudah dianggap siap untuk memenuhi standar KARS," imbuhnya.