JAKARTA - Kementerian Keuangan resmi menaikkan tarif cukai hasil tembakau per 1 Januari 2017 rata-rata 10,54 persen dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.010/2016.

Sejalan dengan itu, harga jual eceran (HJE) rokok naik rata-rata sebesar 12,26 persen. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kenaikan cukai merupakan langkah yang harus ditempuh dalam rangka pengendalian konsumsi dan produksi dengan tetap memperhatikan aspek kesehatan, aspek tenaga kerja, peredaran rokok ilegal, petani tembakau, dan penerimaan negara.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengingatkan pada proporsinya Kementerian Keuangan bicara kenaikan cukai dikaitkan dengan pengendalian konsumsi. Sementara bicara isu kesehatan dalam cukai tidak dalam proporsinya. Biarkan Kementerian Kesehatan yang bicara isu kesehatan.

"Bahwa tugas Kemenkeu itu memungut cukai bukan bicara isu kesehatan. Kemenkeu jangan sampai menjadi agen anti tembakau," kata Misbakhun di Gedung Parlemen Senayan, Senin (03/10/2016).

Menurut inisiator RUU Pertembakauan itu, isu kenaikan cukai rokok dikaitkan dengan isu kesehatan menunjukkan Menkeu tidak empati pada rakyat kecil, salah satunya petani tembakau. Petani tembakau saat ini sedang diuji anomali cuaca tidak menentu yang berdampak pada kualitas tembakau di masa panen ini sehingga menyebabkan harga jual yang rendah.

Saat ke dapil akhir pekan lalu, Misbakhun yang berasal dari dapil Pasuruan dan Probolinggo itu menerima keluhan para petani tembakau mengenai kondisi pertanian tembakau sedang menurun. Akibat anomali cuaca, petani tembakau gagal panen hingga 60%. Produktivitas pun hanya 40 persen.

"Saat hilir bermasalah maka akan berdampak ke hulu. Ketika daya beli masyarakat berkurang maka konsumsi berkurang. Apabila konsumsi berkurang maka produktivitasnya ikut berkurang. Selanjutnya jika produksi berkurang maka serapan bahan baku berkurang," ujarnya.

Sejak awal Misbakhun sudah mewanti-wanti Pemerintah agar berhati-hati membuat kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau. Pasalnya, bisa saja kebijakan tersebut ditunggangi oleh kepentingan asing yang memiliki tujuan tertentu.

"Pemerintah jangan terjebak oleh kampanye anti rokok yang dikendalikan oleh kepentingan asing," katanya.

Politisi Partai Golkar ini menjelaskan, kebijakan kenaikan cukai jelas berimbas pada nasib para petani tembakau. Mereka semakin tidak menentu akibat dampak kenaikan harga rokok tersebut yang memiliki kontribusi penting bagi penerimaan negara melalui penerapan cukai, pajak, bea masuk/bea masuk progresif, pengaturan tata niaga yang sehat maupun pengembangan industri hasil tembakau bagi kepentingan nasional.

Lebih lanjut Misbakhun mengatakan, sektor pertembakauan dari mulai budidaya, pengolahan produksi, tata niaga, distribusi, dan pembangunan industri hasil tembakaunya mempunyai peran penting dalam menggerakkan ekonomi nasional dan mempunyai multiplier effect yang sangat luas.

Misbakhun menegaskan dapilnya di Jawa Timur II merupakan basis petani tembakau dan industri rokok berada. Dan dirinya harus menyuarakan kepentingan masyarakat di daerah pemilihannya.

"Mereka adalah para pemilih saya saat pemilu legislatif. Tidak ada jalan politik lain bagi saya kecuali memperjuangkan aspirasi para petani tembakau dan para pekerja serta buruh pabrik rokok di daerah pemilihan saya. Sebagai anak bangsa mereka punya hak hidup dan harus dilindungi kepentingan mereka oleh negara secara adil," pungkas pria asal Pasuruan ini.

Seperti diketahui, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 147/PMK/.010/2016 menyebutkan kenaikan tarif tertinggi sebesar 13,46 persen untuk jenis tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah adalah nol persen untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54 persen. ***