JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Kadir Karding angkat bicara terkait kebijakan kenaikan tarif cukai rokok. Menurut dia, kenaikan cukai rokok hendaknya tak memberatkan perusahaan sigaret kretek. Sebab, perusahaan sigaret kretek tergolong kecil dan menyerap banyak tenaga kerja.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 147 /PMK.010/2016. Disebutkan, kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54 persen. Tarif tertinggi yang dipatok untuk jenis tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) adalah sebesar 13,46 persen. Sedangkan kenaikan tarif terendah untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB adalah 0 persen.

Angka kenaikan tarif cukai rata-rata 10,54 persen, bagi Kadir cukup tinggi. Dia mengatakan pemerintah tak bisa menekan SKT untuk memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara. Kenaikan tarif cukai akan berdampak merosotnya produktivitas sigaret kretek.

"Tarif cukai naik terus sementara produksi menurun. Sigaret kretek akan merosot kalah bersaing dengan Sigaret Putih Mesin (SPM). Semakin rendah golongan perusahaan kretek, hendaknya semakin rendah tarif cukainya," katanya di Kompleks Parlemen Senayan, Senin, (03/10/2016).

Saat ini, kata dia, aktivitas di kota-kota besar sangat padat. Ruang maupun kesempatan untuk merokok sangat terbatas. Orang cenderung memilih rokok putih produksi asing ketimbang sigaret kretek yang merupakan produk lokal. Rokok putih cenderung cepat habis jika diisap. Sementara sigaret kretek dengan kandungan cengkeh memakan waktu lebih lama.

Kadir menambahkan, penurunan produksi kretek juga akan berpengaruh pada keterserapan hasil pertanian tembakau lokal. Sebab, hanya perusahaan sigaret kretek yang menggunakan hasil perkebunan tembakau lokal. Berbeda dengan perusahaan SPM yang bisa memenuhi kebutuhan produksinya dengan tembakau impor.

Kadir menyebut, perkebunan tembakau di Indonesia cukup luas. Pada 2013 luasnya mencapai 193.000 ha dengan produksi 928 kg/ha. Perkebunan ini mampu menyerap 528.000 petani di seluruh Indonesia. Juga tenaga pendukung pengerjaan dan pengeringan tembakau sebanyak 115.000 orang.

"Jika hasil perkebunan tembakau tak bisa diserap, mereka akan merugi," katanya. ***