MEDAN - Indonesia selama ini terperangkap dalam cara pandang yang salah dalam ketersediaan barang (Suplai) pada banyak sektor. Ketika ada kekurangan, maka solusinya adalah impor. Demikian dikatakan pengamat ekonomi, Gunawan Benyamin, ketika berbicara kepada GoSumut di Medan, Senin (26/9/2016). “Betapa seringnya kita terperangkap pada cara pandang dan sikap kerja yang gampang, kalau kurang impor saja. kan lebih murah. Tapi sebetulnya kita sedang membunuh national capacity,” tegasnya.

Gunawan memaparkan dari sisi pangan. Pada 2009, impor pangan hanya sebesar US$ 2 miliar dalam setahun. Akan tetapi pada 2014, meningkat hampir lima kali lipat karena kebutuhan masyarakat yang terus naik.

“Kalau dikaitkan dengan kebutuhan dan jenis pangan ke depan, itu akan makin lebar,” ujarnya.

Kemudian adalah sektor energi, khususnya minyak. Menurut Gunawan, tidak jauh berbeda dari pangan, rentang antara kebutuhan minyak dengan produksi semakin lebar. Sementara pada sebelumnya, tidak ada kebijakan yang sangat progresif menyelesaikan persoalan tersebut. Energi makin hari gap-nya makin lebar,” imbuhnya.

Sektor lainnya adalah industri pertahanan. Sebagai mantan pelaku industri pertahanan, Sudirman menyatakan bahwa dana yang dianggarkan pemerintah untuk belanja alutsista sangat besar. Namun 80% dari anggaran tersebut untuk membeli peralatan dari negara lain.

“Sebelum pak Jokowi masuk, itu we spend hundred trillion untuk belanja alutsista, yang masuk ke industri dalam negeri tidak sampai Rp20 triliun artinya Rp 80 triliun pergi keluar. Artinya lagi memang daya mampu kita itu sangat rendah dan ketergantungan pada impor dan kapasitas luar sangat tinggi,” papar Gunawan.