BANDUNG - Hari ini Senin (26/09/2016) The Islah Centre menggelar seminar nasional di Gedung Aula Uninus Bandung Jawa Barat. Seminar nasional tersebut membahas persoalan Intoleransi dan Kebhinekaan.

Berdasarkan penelitian sejumlah lembaga swadaya masyarakat dalam beberapa tahun terakhir selalu menempatkan Jawa Barat pada urutan pertama provinsi yang paling intoleran.

Setara Institute pada tahun 2015 menempatkan Jawa Barat sebagai daerah yang paling banyak pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyaknan (KBB) 44 kasus. Wahid Foundation juga menyebut hal yang sama. Selama tahun lalu, lembaga itu menyebut telah terjadi 46 peristiwa pelanggaran Kebesan Beragama dan Berkeyakinan di provinsi tersebut, begitu juga berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung sepanjang tahun 2005 hingga 2011 terdapat 383 peristiwa tindak kekerasan dan intoleransi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Barat.

Sementara, sejak Januari 2013 sampai Januari 2014 terjadi sebanyak 76 peristiwa, peristiwa tersebut terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat seperti, Depok, Bekasi, Cianjur, Sukabumi, Cirebon, Bogor, dan Kabupaten Tasikmalaya.

Hal tersebut diungkapkan Sekjen ITC Mujahidin Nur kepada GoNews.co, Senin (26/09/2016) melalui pesan releasenya.

"Berbicara mengenai intoleransi di Jawa Barat itu sama artinya kita membicarakan pemikiran keagamaan, relasi sosial, tradisi dan tatanan politik yang dibangun orang sunda sebagai mayoritas etnis di propinsi yang sering disebut sebagai Priangan Timur ini. Karena dari 25 kabupaten di Jawa Barat boleh dikatakan 90 persen di antaranya didominasi oleh suku sunda yang notabene 99.8 % beragama Islam, Kristen 0,1 %, Sunda Wiwitan 0,1%," ungkapnya.

Karenanya, tingginya angka intoleransi di Jawa Barat menjadi kontradiktif dengan kultur dan budaya masyarakat sunda-muslim yang terkenal sebagai masyarakat yang optimistis, periang, sopan dan bersahaja. Lebih jauh, seorang penulis berkebangsaan Portugis, Tome Pires dalam laporannya kepada Raja Emanuel, Summa Oriental Que Trata Dar Maroxo Ate Aos Chins (ikhtisar wilayah timur dari laut merah hingga negeri China) menyebut masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang jujur dan pemberani. Selain agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda juga mempunyai pandangan hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya.

"Pandangan hidup tersebut tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya karena secara tersurat dan tersirat dikandung juga dalam ajaran agamanya, khususnya ajaran agama Islam," tukasnya lagi.

Pandangan hidup orang Sunda yang diwariskan dari nenek moyangnya dapat diamati pada ungkapan tradisional sebagai berikut:

"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna. Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna."

Artinya: Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam takan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada batang, bila tak ada tunggak tak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada batangnya.

Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya juga dilandasi oleh sikap “silih asah, silih asuh, dan silih asih”, artinya harus saling mengasah atau mengajari, saling mengasuh atau membimbing dan saling mengasihi sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan berikut ini:

Kawas gula eujeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih. Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.

Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan. Ulah nyolok panon buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan. Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.

Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda terpancar dalam ungkapan-ungkapan:

Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.

Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (bersama-sama dalam suka dan duka). Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun) Karenanya, sungguh miris apabila di tengah masyarakat Sunda mempunyai kekayaan warisan leluhur itu justru intoleransi berkembang pesat; baik itu dilakukan oleh pemerintah (45%) dalam bentuk 41 perda diskriminatif, atau pun intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat (55%) dalam bentuk penyegelan, penutupan rumah ibadah, pembubaran ibadah kelompok atau agama tertentu, bahkan terjadinya kekerasan fisik.

Masyarakat Jawa Barat sejatinya berpijak pada nilai-nilai adi luhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Masyarakat yang berfalsafah pada prinsip silih asih, silih asah, dan silih asuh, (saling mengasihi, saling memberi pengetahuan, dan saling mengasuh di antara masyarakat.

Sehingga masyarakat sunda yang agamis dan mengedepankan keharominisa sebagaimana tergambar pada pepatah, Herang Caina Beunang Laukna, yang berarti meyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru bisa terwujud di tataran sunda ini. Semoga bangunan toleransi kembali menjadi ruh dan prilaku kehidupan masyarakat Sunda. Sehingga keharmonisan dan keindahan dalam perbedaan tercipta dalam struktur masyarakat yang kaya akan tradisi ini. Semoga. ***