MEDAN - Salah seorang petugas medical representative (medrep) perusahaan farmasi, yang minta namanya tidak disebutkan mengakui, dalam menjual produk obat, mereka menjalin kerja sama dengan sejumlah dokter. Kerja sama itu dilakukan, dengan memberikan timbal balik bagi dokter atas jasa resep obat yang mereka keluarkan kepada pasien.

Hal ini, senada dengan yang diungkapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, Kamis (15/9/2016), yang telah menerima data baru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai transaksi mencurigakan dan aliran dana dari transaksi rutin salah satu perusahaan farmasi kepada dokter di Indonesia dengan nilai fantastis sebesar Rp800 miliar selama tiga tahun mentransfer.

"Marginnya itu, berkisar antara 10-25 persen. Misalnya, harga obat per tablet dijual Rp100 ribu, maka dokter yang bersangkutan akan mendapatkan fee sebesar Rp 25.000," terang mendrep itu, Jumat (16/9/2016).

Hal ini, katanya, tentunya akan berdampak dengan tingginya harga jual obat ketika dibeli pasien, dari nilai jual yang seharusnya. Begitupun, dia mengakui, tidak semua dokter mau melakukan praktik ini.

"Ada dokter yang menolak, namun ada juga yang malah terang-terangan langsung menerimanya. Tapi, itu tergantung dari dokternya masing-masing," sebutnya.

Untuk fee sendiri, sambung medrep itu, dokter yang mau bekerja sama akan mendapatkan keuntungan beragam. Ada yang meminta dalam bentuk cash, akomodasi, atau juga kedua-duanya.

"Kapan diberikan itu, tergantung dari dokternya. Biasanya, fee mereka bisa dicairkan antara sebulan sampai tiga bulan," jelasnya kembali.