JAKARTA - Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tengah menyusun pertimbangan terkait  revisi Undang-undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam rangka meminta masukan, Komite III DPD RI melakukan rapat dengan pendapat dengan Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Keduanya memberikan sejumlah masukan diantaranya mengusulkan pemisahan Kementerian Agama sebagai regulator dan lembaga penyelenggara haji sebagai operator. Dalam kesempatan itu, Koordinator ICW, Ade Irawan mengatakan terdapat sejumlah catatan kritis dalam hal pengelolaan dan ongkos haji yang perlu diperbaiki. Diantaranya mengenai penentuan berapa ongkos Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan penggunaan jasa bunga tabungan setoran awal jamaah haji.

''Kami pun melakukan penghitungan biaya haji seperti yang dilakukan Kemenag, namun jumlahnya jauh lebih kecil dari yang dibebankan selama ini. Kesimpulannya, kami menduga ada kemahalan realisasi antara laporan keuangan BPIH Kemenag dengan ICW,'' ujarnya.

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaul Ilyas menambahkan terjadi duplikasi anggaran berupa penggunaan dana jamaah yang berasal dari bunga setoran awal yang dipakai untuk membiayai operasional petugas haji. Padahal, segala keperluan petugas termasuk honor sudah ditanggung oleh anggaran negara dan daerah.

''Poin ini yang perlu direvisi dalam RUU Penyelenggaraan Haji, jangan sampai terjadi double untuk pengeluaran yang sama. Biaya operasional panitia sudah diambil dari dana awal jamaah, sementara undang-undang yang sekarang mengganggarkannya dari APBN dan APBD,'' tambahnya.

Selain itu, ICW juga mencermati tentang kualitas pemondokan dan konsumsi yang setiap tahunnya selalu bermasalah. Belum lagi penggunaan Dana Abadi Umat (DAU) yang tidak jelas kriteria dan peruntukannya.

''Sudah membayar mahal tapi tidak seimbang dengan yang diterima oleh jamaah. Demi maksimalnya penyelenggaraan ibadah haji, maka diperlukan adanya standardisasi pelayanan haji yang lebih baik. Usaha renovasi konkret bisa ditempuh dengan mengkaji kembali UU Nomor 13 Tahun 2008 mengenai penyelenggaraan haji,'' ujar Firdaus.

Sementara itu, Ketua Bidang Hukum HIMPUH, Budi Rianto mengatakan revisi UU penyelengaraan Ibadah Haji perlu mempertimbangkan untuk memisahkan antara regulator dan operator untuk membuat penyelenggaraan ibadah haji Indonesia lebih efisien.

''Perlu ada pemisahan yang jelas antara pengelola keuangan, penyelenggaraan haji dan pembuat regulasi serta pengawas, sehingga masing-masing lembaga akan bekerja secara maksimal karena fokus pada tugas dan fungsinya,'' kata Budi.

Menanggapi hal itu, Ketua Komite III DPD RI, Hardi Slamet Hood mengatakan langkah yang tepat untuk mengusulkan pemisahan antara regulator dan operator dalam penyelenggaraan haji, meskipun banyak kekhawatiran bahwa pihak lain diluar Kemenag tidak ada yang mampu bekerja seperti yang selama ini telah dilakukan oleh Kemenag.

''Banyak yang khawatir juga apakah bisa seprofesional Kemenag, karena mereka sudah punya kaki sampai di kecamatan dan sudah sangat berpengalaman. Yang paling berat adalah memikirkan pihak mana yang akan sanggup untuk mengerjakannya dengan baik,'' ungkapnya.

Sementara itu, anggota Komite III asal Jambi, Daryanti Uteng menilai adanya perbaikan dari pelaksanaan haji pada tahun ini, dari aspek pemondokan dan konsumsi. Meski demikian, Ia tetap berharap pemerintah dapat terus melakukan peningkatan pelayanan terutama bagi kaum lanjut usia. ***