JAKARTA - Ditengah kesibukan mengutak-atik deregulasi kepariwisataan, tiap bulan hampir dua tiga kali Menpar Arief Yahya mengunjungi Pulau Dewata Bali. Entah membuka festival, pesta kesenian, MICE atau sekedar berdiskusi hangat dengan pelaku bisnis Pariwisata di sana. Terakhir, di Sanur Village Festival ke-11, tanggal 24-28 Agustus 2016, pekan lalu.

"Karena Bali adalah gapura pariwisata Indonesia, 40% wisman masuk melalui Ngurah Rai Airport," sebut Arief Yahya, Menteri Pariwisata ke-7 Republik Indonesia itu.

Tanpa harus diucapkan dengan kata-kata, itulah bentuk komitmen dan perhatian Kemenpar terhadap pundi-pundi wisata di tanah air. Karena itu, hal-hal yang berpotensi menjadi bottlenecking dalam memajukan destinasi Bali pasti ditangani dengan cepat. Terutama yang menyangkut 3A, atraksi, akses dan amenitas. Termasuk ekses atas “banjir turis Tiongkok” yang belakangan sangat terasa di seluruh penjuru dunia, pun juga di Bali.

"Saya belum lama berkunjung dalam rangkaian promosi Wonderful Indonesia di Osaka Jepang, Seoul Korea, Singapore, Sydney dan Melbourne Australia. Hampir semua destinasi, dipenuhi turis Tiongkok. Dimana-mana. Masuk akal, karena ada 120 juta outbound China tahun 2015, dan tahun 2016 ini naik lagi. Di Bali pun begitu, yang dulu Bali didominasi wisman Australia, tahun 2016 ini sepertinya bakal tergeser oleh wisman Tiongkok," kata Arief Yahya.

Memang, eksesnya tetap ada. Misalnya, jumlah guide yang berbahasa Mandarin, masih kurang. Dan itu adalah tantangan yang harus dengan cepat dikejar, agar masa-masa “jet lag” soal komunikasi itu segera teratasi dengan baik.

"Di Shanghai pekan lalu, problem itu juga dirasakan oleh tour operator dan tour agency di Tiongkok, problem bahasa. Bedanya dengan Thailand, mereka juga belajar dan sudah mulai banyak yang bisa berkomunikasi Mandarin. Lagi-lagi, ini tantangan kita untuk mengejar ketinggalan dalam hal guide yang bisa berbahasa Mandarin,” kata Mantan Dirut PT Telkom ini.

Lalu, apakah persoalan guide yang bahasa Mandarin itu tidak pernah terjadi di Thailand? Tidak. Mereka juga menghadapi problem yang sekarang ini sedang dialami oleh Bali. Banyak wisman Tiongkok, kekurangan guide berbahasa Mandarin. Apakah Kemenpar mengetahui kalau ada problem itu? Ketua Pokja Percepatan 10 Top Destinasi, Hiramsyah Sambudhy Thaib dalam sebuah acara di Bali, 31 Agustus lalu menjelaskan dengan gamblang, bahwa Kemenpar sangat menyadari hal itu.

“Tentu, Kemenpar sudah sangat paham akan tantangan itu. Soal SDM itu ada Deputi Kelembagaan dan SDM yang concern untuk menangani pramuwisata soal bahasa Mandarin dan turis Tiongkok itu,” jelas Hiram yang pernah memimpin Asosiasi Kawasan Pariwisata Indonesia (AKPI) tahun 2002 itu.

Hiram sekaligus meluruskan content berita di link: https://beritabali.com/read/2016/09/01/201609010005/Kemenpar-Ijinkan-Guide-China-Ilegal-Beroperasi-di-Bali.html itu yang judulnya bisa menciptakan persepsi yang berbeda. Antara mengizinkan guide China illegal dengan menangani tantangan guide untuk memperbanyak yang berbahasa Mandarin itu terlalu jauh maknanya.

Tetapi, sebagai orang yang sudah lama malang melintang di media dan berpengalaman mengurus industri Pariwisata, Hiram tidak terlalu risau. “Kesalahan persepsi itu biasa dalam komunikasi, yang penting inilah yang saya sampaikan,” jelas Hiramsyah yang wanti-wanti jangan salah makna lagi.

Soal ekses akibat derasnya arus wisman ke Bali, seperti guide dan juru foto yang dibawa dari Tiongkok, Hiramsyah juga sudah menegaskan semua akan terjawab ketika tantangtan guide yang berbahasa Mandarin itu selesai. Nah, itu yang sekarang ini sedang getol-getolnya dilakukan oleh Deputi Kelebagaan dan SDM Kemenpar, untuk melakukan percepatan. “Bahkan bukan hanya yang berbahasa Mandarin, kami juga menyiapkan guide yang berbahasa Arab untuk pasar Halal Destination, seperti Lombok, Sumbar dan Aceh, yang kondisinya juga kurang,” jelas Hiram.

Lebih jauh, Deputi Kelembagaan dan SDM Kemenpar, Ahman Sya, membenarkan apa yang disampaikan Hiramsyah Sambudhy Thaib. Bahkan tantangan itu bukan wacana lagi, sejak 2 minggu lalu, pihaknya sudah melangkah bersama HPI (Himpunan Pramuwisata Pusat) dan Dinas Pariwisata Provinsi Bali. “Pertama, Pemprov Bali memberi kemudahan untuk memberikan lisensi pemandu wisata berbahasa Mandarin. Sekarang ada lisensi sementara yang berlaku 1 tahun, dari umumnya 3 tahun,” kata Ahman Sya.

Kedua, ada pendampingan terhadap pemandu wisata asing oleh HPI, dan organisasi itu sudah siap agar wisatawan tidak kehilangan guide dan Perda Provinsi Bali tidak dilanggar. Ketiga, melakukan sosialisai kepada biro perjalanan wisata agar dalam hal kebutuhan guide beroordinasi dengan HPI. “Kini sudah ada 585 orang calon guide yang siap diuji oleh HPI. Jadi tinggal menunggu timing, dalam waktu dekat,” kata Ahman Sya.

Apa yang akan dilakukan? “Jumlah pemandu wisata yang kami siapkan dan difasilitasi Kemenpar tahun 2016 ini ada 1.500 orang. Khusus untuk Great Bali 400, Jakarta 750, dan Batam-Bintan 350 orang. “Khusus Bahasa Mandarin yang sudah dilatih di Bali ada 150 orang, Batam 50 orang. Sedang yang mandiri, melakukan sendiri, belajar sendiri di Bali ada 585 orang. Kebutuhan tahun 2016 untuk seluruh Indonesia ada 1.000 guide,” kata Ahman yang terus berkoordinasi dengan Ketua Umum HPI Erwan Maulana.

Ketua ASITA, Asnawi Bahar menyampaikan secara nasional, guide resmi sejak beberapa tahun lalu itu ada 1.300 orang. Dengan jumlah itu, sebenarnya cukup memadai untuk menghandle wisman Tiongkok saat ini. “Kita punya banyak guide yang sedang dimagangkan. Tetapi memang jumlah wisman Tiongkok terus naik, karena itu kita harus mengejar ketinggalan,” kata Asnawi. (*/dnl)