MEDAN - Terbongkarnya kasus prostitusi terhadap 99 anak (korban) dibawah umur yang diungkap Bareskrim Mabes Polri beberapa waktu lalu, tidak terlepas dari pola asuh keluarga. Sebab, pola asuh berpengaruh erat untuk menciptakan karakter seorang anak.

Apalagi, ungkap Ketua KPAID Sumut, Zahrin Piliang, tuntutan hidup atau gaya hidup yang ‘wah’ dapat mengakibatkan seseorang mau melakukan apa saja untuk mendapatkannya. “(Kalau saya melihat), ini persoalan pola asuh yang kurang dari keluarga. Pola asuh inilah yang sangat menentukan tumbuh kembang anak,’ ujar Zahrin, kepada GoSumut, Kamis (1/9/2016).

Pola asuh ini, kata Zahrin, juga harus dibarengi dengan pengetahuan dari orangtua tentang bagaimana cara mendidik anak dengan baik dan benar. “IPM kita saja saat di bawah negara ASEAN, dengan rata-rata pendidikan SD hingga SMP. Akibatnya, lahirlah generasi orangtua yang bekerja di sektor buruh kasar. Hal-hal seperti ini juga memegaruhinya,” ungkapnya.

Ditingkat kemiskinan dari orangtua korban prostitusi untuk kaum gay ini, jelasnya, anak-anak dihadapkan dengan kecanggihan teknologi informasi seperti internet ataupun smartphone. “Inilah yang memengaruhi gaya hidup, (sehingga mereka terpengaruh ke hal-hal yang tidak baik),” ujarnya.

Makanya, selaku lembaga yang konsern terhadap perlindungan terhadap anak, Zahrin meminta agar orangtua maupun pihak sekolah dapat memberikan sentuhan psikologis kepada anak. “Kalau mereka sedang mengerjakan PR di rumah, setidaknya orangtua harus mendampinginya. Malah kebanyakan orangtua yang sibuk dengan gadgetnya atau lagi nonton sinetron,” jelasnya.

Yang menyakitkan, katanya kembali, ketika anak bertanya ketika sedang mengerjakan PR-nya, orangtua malah marah. “Misalkan anak bertanya, rumus phitagoras kepada ayahnya. Lalu dijawab ‘sebenarnya yang sekolah kamu atau ayah?’ ini kan menyakitkan untuk anak. Seharusnya kalau anak bertanya dan orangtua tidak tahu, lebih baik cukup hanya bilang ‘kerjakan saja nak, benar ataupun salah itu nomor sekian, yang penting kerjakan saja’. Kalau ini yang dibilang kepada anak, tentunya mereka akan senang dan merasa diperhatikan,” imbuhnya.

Begitupun juga di sekolah. Tempat proses belajar mengajar ini juga harus memberikan kenyamanan kepada siswanya. “Kalau (anak merasa) nyaman, berarti itu bagus. Misalnya, guru tidak pernah senyum. Ketika tidak mengerjakan tugas, mereka malah marah bahkan menjewer siswanya. Namun tidak pernah mau melihat kenapa itu bisa terjadi,” timpalnya.

Seyogyanya, ketika seorang anak tidak mengerjakan tugas rumahnya, baiknya guru melakukan pendekatan kepada anak kenapa tidak mengerjakannya. “Bukannya malah marah atau menghukum mereka. Seharusnya mereka bertanya apa masalah yang dihadapi anak, kenapa sampai tidak mengerjakan PR. Sentuhan psikologis inilah yang perlu dilakukan, baik orangtua maupun guru di sekolah,” tandasnya.

Pola-pola asuh seperti inilah yang harus dilakukan orangtua maupun guru di sekolah kepada anak. Dengan harapan, karakter dan tumbuh kembang anak dapat menjadi baik sehingga dapat menangkal dari perilaku ‘menyimpang’ seorang anak.