MEDAN - Saat ini pemerintah Indonesia baru memerhatikan masalah kesehatan fisik dengan meluncurkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)Kesehatan pada 2014 silam. Namun, sejauh ini pemerintah kurang memerhatikan masalah psikologis dari masyarakat. Pada kenyataannya terdapat hubungan yang erat antara kondisi psikologis dengan kondisi fisik seseorang. Demikian pula sebaliknya. Direktur Minauli Consulting, Irna Minauli mengatakan, mereka yang mengalami depresi cenderung akan mengalami berbagai gangguan fisik seperti kanker. Sebaliknya, penderita penyakit berat seperti kanker cenderung akan mengalami depresi.

“Dalam pandangan biopsikososial, ketiga unsur menjadi penting yaitu antara biologis, psikologis dan sosial terhadap kondisi kesehatan,” ujar Irna Minauli kepada Go Sumut, Kamis (25/8/2016) siang.

Tak hanya itu, dalam pandangan neuroimunopsikogis, terlihat kaitan antara syaraf dan kekebalan tubuh serta kondisi psikologis seseorang. “Mereka yang mengalami stres cenderung akan lebih mudah terserang penyakit dibandingkan mereka yang tidak sedang dalam kondisi stres,” ujarnya.

Hal ini terbukti bahwa stres dapat menurunkan imunitas (daya tahan tubuh) sehingga seseorang akan mudah terserang penyakit. “Itu sebabnya, kondisi stres kejiwaan pun seharusnya mendapatkan perhatian. Mencegah penyakit jauh lebih penting daripada mengobati,” ungkapnya menganalisis.

Menangani kondisi psikologis ini, penting dilakukan sebelum timbulnya penyakit yang lebih parah. “Sebuah penelitian membuktikan bahwa mereka yang menderita kanker adalah mereka yang terbiasa memendam emosi-emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, kebencian, permusuhan dan kecemburuan,” terangnya.

Bahkan, disaat seseorang memendam emosi-emosi negatif, maka akan memiliki pengaruh yang buruk terhadap kondisi fisiknya. Imunitas menjadi lebih buruk sehingga sel-sel kanker akan lebih berkembang biak.

Sebaliknya, pada saat seseorang menderita penyakit berat dan menahun seperti pada penderita diabetes yang tidak tertangani dengan baik, mereka cenderung akan mengembangkan depresi.

“Kondisi depresi ini membuat semangat hidup semakin menurun, sehingga kepatuhan untuk mengikuti terapi yang ditetapkan oleh dokter menjadi sering dilanggar. Kondisi ini tentunya akan memperparah penyakit yang dideritanya,” tandasnya.

Seharusnya, jelas Irna, dalam penanganan penyakit harus bersifat holistik yang melibatkan aspek medis, psikologis, sosial, dan juga aspek religius. “Secara medis diberikan pengobatan yang baik. Secara psikologis, pasien diberi konsultasi yang tujuannya untuk psikoedukasi
sehingga pasien dapat memahami permasalahan yang dihadapi dan bagaimana mengatasi masalah tersebut,” ucapnya.

Sedangkan secara sosial, seorang pasien perlu mendapatkan dukungan moral dari lingkungan terdekatnya seperti keluarga, saudara, ataupun jiran tetangga. Selain itu, peran ulama dan pemuka agama juga dinilai dapat membantu proses pemulihan.

Sejauh ini, Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) sudah berupaya agar di setiap puskesmas dan rumah sakit, agar tersedia layanan psikologi. “Usaha (kita) selanjutnya adalah membuat layanan psikologi dapat ditanggung oleh Pemerintah,” imbuhnya.

Dengan adanya korelasi seperti yang dijelaskannya tadi, Irna berharap, pemerintah Indonesia dalam hal ini manajemen BPJS Kesehatan, dapat mengkaver layanan psikologi dalam sistem Jaminan Sosial Nasional (JKN).