JAKARTA - Randai adalah kesenian musik tradisional khas dari Kuansing, malam ini pertunjukan Randai digelar untuk menghibur masyarakat jelang pembukaan Pacu Jalur Kuansing 2016.

Acara malam hiburan Randai ini disaksikan 10 ribu pasang mata pengunjung. Penonton juga terlihat larut dalam alunan tetabuhan yang dimainkan. Bahkan menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kadisparekraf) Riau, Fahmizal Usman, Sekretaris Daerah Provinsi, Ahmad Hijazi juga turut berjoget bersama masyarakat.

"Luar biasa, lebih kurang 10 ribu wisman dari berbagai daerah tumpah ruah di Lapangan Limono Kuansing. Randai merupakan kesenian pertunjukkan tradisional Kuansing, yang benar-benat menyajikan keriangan dan gembiraan bagi masyarakat," ujar Fahmizal kepada GoRiau.com (GoNews Group) Rabu (24/08/2016) malam.

"Ini merupakan hiburan bagi masyarakat selama Iven Pacu Jalur, yang dilaksanakan setiap tahun guna memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia," timpalnya.

Menurutnya, iven Pacu Jalur sendiri sudah ada sejak satu abad lalu, atau tepatnya 107 tahun silam. "Awalnya acara ini untuk memperingati hari-hari besar keagamaan, kemudian saat belanda menjajah Indonesia, pacu jalur dilaksanakan untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Belanda yakni Ratu Wilhelmina, namun setelah Indonesia merdeka Pacu Jalur dilaksanakan untuk memperingati HUT RI," tukas Fahmizal.

Dan saat ini kata dia, Iven pacu jalur ini merupakan salah satu kebanggan bagi Riau, karena sudah menjadi iven tingkat nasional. "Kita patut bangga dan bersyukur, karena Pacu Jalur merupakan bagian dari "Warisan Tak Benda Nasional" yang dimiliki Provinsi Riau," ujarnya.

Sejarah Pacu Jalur sendiri berawal pada abad ke-17, dimana jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. 

Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40 orang. 

Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). 

100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur. Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. 

Namun, seiring perkembangan zaman, akhirnya Pacu Jalur diadakan untuk memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu Pacu Jalur diadakan sekitar bulan Agustus.  Dapat digambarkan saat hari berlangsungnya Pacu Jalur, kota Jalur bagaikan lautan manusia. Terjadi kemacetan lalu lintas dimana-mana, dan masyarakat yang ada diperantauan akan terlihat lagi, mereka akan kembali hanya untuk menyaksikan acara ini. Biasanya jalur yang mengikuti perlombaan, bisa mencapai lebih dari 100 unit.

Tahun ini kemeriahan makin menjadi, karena Iven Pacu Jalur menjadi kalender iven nasional yang secara resmi sudah dilaunching Menteri Pariwisata RI, Arief Yahya dalam acara "Riau Menyapa Dunia". (*/dnl)