JAKARTA - Agak religius memang. Edisi ke-6 CEO Message yang dikeluarkan Menteri Pariwisata Arief Yahya untuk membangun corporate culture di kementerian yang dia pimpin. Pesan-pesan moral ini dia sampaikan setiap minggu sekali, sebagai bagian untuk memperkokoh landasan moral, memperkuat spirit bekerja, dan menghidupkan mimpi menjadi yang terbaik.

“Saya sudah pelajari, semua agama mengajarkan hal yang esensinya sama, spirit Ikhsan!” kata Menpar Arief Yahya.

Motivator ESQ, Ary Ginanjar menggunakan tiga angka, yakni 1-6-5. Artinya, Satu itu artinya Ikhsan. Enam itu Rukun Iman, Lima itu Rukun Islam. Jadi simbol 165 itu menempatkan ikhsan sebagai nomor satu dalam 3I (Ikhsan, Iman, dan Islam). “Baik saja tidak cukup, kita harus menjadi yang terbaik! Bekerja yang terbaik, menjadi nomor satu, itu adalah spirit Ikhsan. Dan saya minta Kemenpar menjadi nomor wahid,” jelas Arief Yahya.

Berikut ini, transkrip lengkap pesan CEO atau CEO Message yang ditulis Menpar Arief Yahya

CEO Message

Menjadi yang Terbaik “Baik itu tidak cukup baik, kita harus selalu menjadi yang terbaik”

Menjadi yang  terbaik adalah sebuah keyakinan dasar (basic belief) yang harus dimiliki setiap insan Kemenpar untuk selalu memberikan yang terbaik dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Dengan sikap mental dasar untuk menjadi yang terbaik maka kita bisa mendedikasikan dan mempersembahkan yang terbaik pula kepada Kementerian yang kita cintai ini, kepada bangsa dan negara, dan lebih universal lagi kepada seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).

Standar Tertinggi

Untuk bisa menjadi yang terbaik maka kita harus memiliki standar kinerja tertinggi (highest standard of performance) yang diterapkan kepada dirinya maupun kepada anak buah kalau kita adalah pemimpin. Standar tertinggi ini berlaku baik dari sisi nilai-nilai (values), perilaku (behavior), ataupun kapabilitas/kompetensi. Di samping itu standar tertinggi juga dari sisi hasil-hasil yang ingin kita capai (achievement/result). Bila ingin menjadi world class player, gunakan world class standard.

Dari sisi nilai-nilai dan perilaku misalnya, saya menuntut setiap insan Kemenpar untuk memiliki standar integritas tertinggi, standar kejujuran tertinggi, atau standar daya juang dan keuletan tertinggi, nggak gampang loyo dan menyerah. Dari sisi kapabilitas dan kompetensi, saya menuntut ekspertis terbaik, yang dapat dibentuk dengan cara membangun (“build”), kalau tidak bisa dicukupi dari dalam terpaksa sementara harus meminjam (“borrow”) atau membeli (“buy”) ekspertis dari luar. Sementara dari sisi hasil, saya menuntut capaian-capaian terbaik: nomor 1, nomor 2, atau mentok nomor 3.  

Itu artinya kita harus membentuk dan menempa dirinya mencapai kualitas personal tertinggi (highest personal quality). Kalau keyakinan dasar ini sudah dimiliki, maka pada gilirannya kita akan menjadi pribadi yang selalu high demanding, high achiever, dan memiliki sense of perfection. Kita akan menuntut standar tertinggi tersebut tanpa pandang bulu dan tanpa pernah berkompromi.

Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang “kejam” terhadap dirinya maupun anak buah, kalau sudah menyangkut standar kinerja. Ia tetapkan standar kinerja yang sangat tinggi. Kemudian ia paksa dan lecut dirinya dan anak buahnya untuk mencapai standar tinggi tersebut. Begitu standar tersebut bisa dicapai, maka ia naikkan lagi standar itu lebih tinggi lagi agar potensi dirinya dan anak buahnya keluar. Demikian setrusnya hingga akhirnya ia mampu mencapai hasil kerja tertinggi.

Dengan me-leverage diri secara terus-menerus, pada akhirnya ia dan anak buahnya akan menjadi pribadi-pribadi yang hebat (great), bukan cuma baik (good). Ingat, baik saja tidak cukup, kita harus menjadi orang hebat.

Never-Ending Journey

Upaya untuk mencapai yang terbaik (excellence) adalah sebuah perjalanan yang tak pernah mencapai titik akhir (a never-ending journey). Secara sederhana, saya sering mengistilahkannya dengan “menciptakan bukit kemenangan satu ke bukit kemenangan berikutnya”.

Karena itu menjadi yang terbaik juga harus disikapi secara dinamis sebagai sebuah sikap mental untuk tidak mudah berpuas diri terhadap setiap hasil kerja yang dicapai. Sikap mental inilah yang memungkinkan perusahaan selalu memiliki sense of urgency dan tak mudah terjebak dalam zona kenyamanan (comfort zone) dalam mencapai prestasi terbaik.

Tuntutan akan standar kinerja tertinggi merupakan mekanisme untuk memberikan tantangan (challenges) dan dorongan (drives) agar kita tidak terjebak dalam zona kenyamanan (comfort zone). Standar tertinggi sekaligus memberikan leverage effect, yaitu dorongan agar kita bekerja di atas kemampuan normal yang dimiliki. Kalau secara normal kita mampu mengerjakan pekerjaan 100%, maka dengan leverage (pengaruh) ini kita berupaya keras untuk mencapai 125% atau bahkan 150%.

Berbicara mengenai sikap mental menjadi yang terbaik, saya menjadi teringat mantan CEO legendaris GE, Jack Welch. Pada suatu kesempatan, Jack Welch ditanya oleh anak buahnya tentang mengapa GE harus selalu menjadi nomor satu. Jack Welch menjawabnya begini, “Kalau kita nomor satu dan nomor dua, pada saat kondisi sulit, kita akan bisa tetap sustain. Namun bila kita berada di nomor 4, 5 atau 6, maka di masa sulit kita tidak bisa sustain.”

Intinya Jack Welch ingin menekankan bahwa kita harus selalu menjadi yang terbaik. To be number one, to be number two, or to be gone. Dalam bisnis, Jack Welch mengatakan kalau tidak nomor satu dan nomor dua, harus pergi. Keep, fix, sell. Karena itu kepada para pemimpin di Kemenpar saya sering mengatakan, kalau memang bagus lakukan, keep it; kalau kurang bagus masih diperbaiki, fix it; dan kalau sudah tidak bisa bagus, tanggalkan, sell it.

Spirit of Ihsan

Kata kunci untuk menjadi yang terbaik adalah memperbaiki diri secara terus-menerus. Karena itu saya mengatakan, sikap mental untuk menjadi yang terbaik merupakan perwujudan dari spirit Ihsan yang mengandung tiga makna, yaitu “memperbaiki” (ahsana), “lebih baik” (yuhsinu), dan “terbaik” (ihsanan).

Orang yang memiliki spirit Ihsan akan senantiasa memperbaiki hal-hal yang biasa menjadi sebuah kondisi yang lebih baik, dan apabila perbaikan itu dilakukan secara terus-menerus, maka pada akhirnya akan membawanya menjadi yang terbaik. Jadi kalau bicara tentang Ihsan, maka continuous improvement menjadi sebuah keharusan. Continuous improvement dalam rangka mempersembahkan yang terbaik kepada-Nya.

Saya sering mengilustrasikan karakter Ihsan dengan sifat-sifat mulia dari seorang ibu. Mengapa ibu kita sangat mencintai kita dengan tulus ikhlas? Mengapa ibu kita membesarkan kita tanpa pamrih apapun? Mengapa ibu kita mengasuh dan merawat kita dengan penuh kasih, penuh sayang? Saya kemudian bertanya lagi.  Penuh kasih, penuh sayang itu sifat siapa? Sifat siapakah Ar Rahman (pengasih) dan Ar Rahim (penyayang) itu? Itu tak lain adalah sifat-sifat Tuhan.

Karena itu saya berkesimpulan, ibu kita hebat dan mulia karena beliau menggunakan sifat Tuhan untuk mengasuh dan membesarkan kita. Jadi karakterlah yang membuat ibu kita hebat. Atau lebih tepatnya, karakter Tuhanlah yang membuat ibu kita hebat.

Oleh karenanya, alangkah mulianya kita kalau dalam hidup dan dalam bekerja menggunakan karakter Tuhan, atau manajemen Tuhan, atau akhlak Tuhan. Saya meyakini karakter Tuhanlah yang bisa membuat Kemenpar hebat. Karakter Tuhan adalah fondasi kesuksesan sejati. Nah, menurut beberapa ahli, karakter tertinggi Tuhan itu adalah Ihsan, yang artinya “yang terbaik” atau “yang sempurna”. Meski disadari kita tidak dapat melakukan sepenuhnya, namun kita harus selalu menuju ke sana.

Memiliki spirit Ihsan mengandung esensi bahwa kita memiliki komitmen rohani, dimana saat beribadah, termasuk didalamnya saat bekerja, mata hati kita melihat Tuhan. Ketika mata hati kita melihat Tuhan, maka dengan sendirinya kita akan mempersembahkan karya yang terbaik kepada Tuhan.

Bekerja itu merupakan bagian ibadah kepada Tuhan. Maka kita akan bekerja dengan ilmu terbaik, konsep terbaik, strategi terbaik dan teknik-teknik kerja terbaik  untuk memberikan hasil yang terbaik. Inilah konsekuensi sebuah prinsip bahwa apapaun yang dilakukan manusia pada hakikatnya merupakan persembahan (ibadah) kepada Tuhan.

Sekali lagi, karena bekerja merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan, maka dalam bekerja pun kita juga harus mempersembahkan yang terbaik. Kalau kita bekerja diawasi oleh atasan, maka kita masih bisa sembunyi atau mengelabuhi. Tapi karena dilihat dan diawasi Tuhan, maka  kita tak akan bisa menyembunyikan diri, kita tak bisa bohong, kita tak bisa mengelabuhi. Konsekuensi logisnya adalah, kita tidak punya pilihan lain kecuali harus bekerja sebaik dan sesempurna mungkin. Inilah esensi Ihsan.

Salam Pesona Indonesia.

Arief Yahya. (*/dnl)