CIREBON - Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) menilai rekonsiliasi secara alamiah jauh lebih baik dilakukan berbagai pihak yang terlibat peristiwa 1965, karena itu keputusan Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal/IPT) di Den Haag tidak perlu disikapi berbagai pihak dengan mengungkap kebenaran.

"Justru kalau kemudian ada upaya mengungkap kebenaran akan terjadi klaim maka bisa mengoyak rasa kedamaian, ketentraman, Kalau kemudian rasa kedamaian itu terkoyak maka tentu saja rasa keadilan masyarakat juga bisa terkoyak," kata Ketua Bidang Hukum PBNU Robikin Emhas, Minggu (23/7/2016), di sela mengikuti Rapat Pleno PBNU, Pesantren Kempek, Cirebon.

Ia menyatakan, sebenarnya rekonsiliasi secara alamiah telah berjalan dengan baik. Karenanya, sebagaimana dalam kaidah islam kedudukan tertinggi dalam hubungan manusia ketika terjadi peristiwa tertentu maka bukan hanya memafkan tapi juga sekaligus harus dilupakan.

"Kalau kemudian orang tidak melupakan peristiwa yang dialami saya kira sulit sekali orang bisa mengikhlaskan apa yang terjadi, maka tidak tercapailah subtansi dari maaf-memaafkan itu, jadi selesai sampai disitu," terangnya.

Apalagi menyangkut putusan IPT, sambungnya, PBNU tidak melihat hal itu serius. Sebab IPT bukan pengadilan resmi yang didirikan berbagai negara, tapi merupakan pengadilan partikelir.

"Karena bersifat partikelir itu putusannya tidak memiliki kekuatan mengikat kepada negara dan pihak lain. Sehingga Indonesia juga tidak terikat pula, tidak ada konsewensi hukum apa-apa terkait putusan itu," pungkasnya. (rls)