MEDAN - Langkah penyidik kasus penipuan dan penggelapan yang tidak menahan tersangka Ramadhan Pohan, membuat korban kecewa. Dia tetap meminta agar politikus Partai Demokrat itu segera ditahan.

"Saya tahu dia (Ramadhan Pohan, red) tidak ditahan dari media massa. Saya sangat kecewa, karena sudah jelas-jelas dia mangkir dan tidak kooperatif dan dijemput hingga ke Jakarta, masa tidak ditahan," kata Laurenz Henry Hamonangan Sianipar, korban yang juga pelapor kasus itu, Kamis (21/7/2016) siang di Jalan Sutomo Medan.

Laurenz yang didampingi pengacaranya Hamdani Harahap menyatakan, Ramadhan sudah sepatutnya ditahan. Alasan mereka Ramadhan tidak kooperatif, sementara dua alat bukti permulan telah ditemukan. Terlebih permohonan agar Ramadhan ditahan dituangkan dalam surat yang dibuat Hamdani ditujukan kepada Kapolri dan ditembuskan ke Presiden, Ketua DPR RI, Kabareskrim, Irwasum Polri, Propam Polri, dan Kajati Sumut.

"Soalnya kasus ini juga sangat menarik dan menjadi perhatian masyarakat luas," imbuh Hamdani.

Laurenz sempat memberikan penjelasan terkait laporannya. Dia mengatakan, kasus itu berawal dari kedatangan Ramadhan Pohan bersama istri ke kediaman orang tuanya di Jalan Sei Serayu Medan pada (8/12/2015) sore. Saat itu sehari menjelang hari pencoblosan Pilkada Kota Medan.

"Saya baru sekali bertemu, dikenalkan Linda Panjaitan. Dia dan istrinya membujuk dan meyakinkan saya bahwa dia butuh uang tunai hari itu juga. Awalnya minta Rp 6 miliar, namun jadi Rp 4,5 miliar, yang akan dikembalikan selama seminggu dan saya akan diberikan imbalan Rp 400 juta," jelas Laurenz.

Meski saat itu sudah sore, Ramadhan meyakinkannya bahwa pencairan tetap dapat dilakukan. "Dia bilang semua sudah diatur," sambung Laurenz.

Pria yang tinggal di kawasan Setia Budi, Medan ini pun mengaku bisa percaya karena Ramadhan memintanya mengecek bahwa dia merupakan calon Wali Kota Medan terkaya dengan kekayaan Rp 13 miliar lebih.

"Saya cek ke website KPU, memang benar. Saya minta buat kwitansi dia tidak mau, tapi dia menyerahkan cek kontan senilai Rp 4,5 miliar yang ditandatangani dan lengkap dengan nama dan tanda tangan di bagian belakang. Dia bilang, ini lebih kuat dari kwitansi," ucapnya.

Singkat cerita, jelas Laurenz, ia setuju meminjamkan uang, ia membawa Rp500 juta uang tunai dari rumah dan ikut mencairkan Rp 500 juta di Bank Mandiri, di Jalan S Parman, Medan, dan Rp 3,5 miliar dari Bank Mandiri Jalan Imam Bonjol.

"Saya tidak tahu menahu uang itu untuk apa. Saya tidak ada ikut-ikutan di Pilkada, kami bukan orang politik. Uang tunai itu diserahkan di bank kepada Linda. Perempuan itu dikawal aparat kepolisian sesuai perintah Ramadhan.

"Sekitar pukul 19.00 WIB, dia (Ramadhan) menelepon menyampaikan terima kasih uang sudah sampai," beber Laurenz.

Seminggu berlalu, Laurenz tidak bisa menghubungi Ramadhan. Dia pun mencoba mencairkan cek yang diberikan.  Beberapa kali mencoba, namun tetap tidak berhasil. Cek tidak bisa dicairkan karena saldonya tidak cukup. Saldonya ternyata hanya Rp 10 juta. Setelah ditelusuri sejak dibuka, jumlah uang yang ada di rekening tetap di angka Rp 10 juta.

Merasa ditipu, Laurenz melaporkan penipuan itu ke Polda Sumut dengan bukti laporan Nomor  TTLP/330/III/2016/SPK  pada 18 Maret 2016. Dalam perkembangannya, Ramadhan dan Linda dijadikan tersangka. Namun dipanggil dua kali, Ramadhan terus mangkir.

Ramadhan kemudian dijemput penyidik Polda Sumut dari Jakarta, Selasa (19/7/2016) malam, setelah dua kali mangkir dari panggilan untuk diperiksa sebagai tersangka kasus penipuan dan penggelapan.

Ramadhan tiba di Polda Sumut, Selasa (19/7/2016) sekitar pukul 24.00 WIB atau Rabu (20/7/2016) pukul 00.00 WIB. Dia kemudian menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumut. Usai diperiksa, penyidik tidak melakukan penahanan terhadapnya. Dia dilaporkan keluar dari Mapolda Sumut, Rabu (20/7/2016) malam.