JAKARTA - Menpar Arief Yahya mengeluarkan CEO Message yang ke-5, Kamis, 21 Juli 2016 di lantai 16 Gedung Sapta Pesona, Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Pesan-pesan khusus terkait dengan manajemen, filosofi, leadership, dan benchmark tokoh-tokoh dunia yang inspiratif setiap Minggu sebelum Rapim (Rapat Pimpinan) yang diikuti oleh Eselon I dan II. Kali ini Mantan Dirut PT Telkom ini menuliskan tema "First Who, Then What. Menentukan orang dulu, setelah itu baru mengatakan keinginanmu!" ucap Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI di Jakarta.

Berikut, catatan lengkap CEO Message ke-5 Arief Yahya itu:

First Who, Then What Pilih orangnya dulu, kemudian katakan keinginanmu…

CEO Message minggu ini saya masih membahas tentang values yang menyangkut human capital yakni prinsip First Who then What. Jim Collins dalam buku Good to Great menyebutkan bahwa terdapat dua proses besar untuk menggulirkan perubahan di dalam organisasi yang hebat (disebut organisasi Good to Great).

Proses pertama adalah “build up” yang terdiri dari: Level 5 Leadership, First Who then What, dan Confront the Brutal Facts. Proses kedua adalah “breakthrough” yang terdiri dari: Hedgehog Concept, Culture of Discipline, dan Technology Accelerators. Khusus mengenai First Who then What, banyak pemimpin yang lebih memilih pendekatan First What then Who.

Mereka seringkali terjebak. Mereka sering mengatakan tetapkan visi, misi, dan strategi, baru kemudian dipilih orang-orangnya. Ketahuilah, kalau kita mengambil pilihan itu, berarti kita masih menjalankan Kepemimpinan Level 4 (Level 4 Leadership). Untuk mencapai Kepemimpinan Level 5 (Level 5 Leadership) kita akan memilih First Who then What.

Dimulai dengan “Siapa” Dalam organisasi Good to Great, yang terpenting adalah memilih orang-orang (“who”) terlebih dulu, dibandingkan menetapkan apa yang harus dilakukan (“what”).

Bila diilustrasikan dengan sebuah bus, maka transformasi organisasi Good to Great bukan dimulai dari membayangkan ke arah mana bus akan meluncur dan kemudian mencari orang-orang yang mengemudikannya untuk menuju ke sana. Tetapi yang pertama-tama dilakukan justru mencari orang yang tepat untuk disertakan dalam bus dan baru kemudian membayangkan ke mana bus tersebut akan berjalan.

Karena itu, hal pertama yang harus dilakukan oleh pemimpin hebat (Great Leader) dalam memulai transformasi adalah menempatkan orang yang hebat (Great People) di dalam “bus”-nya. Pemimpin Good to Great menggunakan tiga prinsip dalam memulai sebuah proyek transformasi organisasi. Pertama, ia selalu memulai transformasi dengan “siapa” (who) daripada “apa” (what).

Hal ini memungkinkan si pemimpin untuk beradaptasi terhadap perubahan, seekstrim apapun perubahan yang dihadapi organisasi. Kedua, bila Great Leader mempunyai Great People berada di dalam “bus”, maka ia tahu persis bahwa sebagian masalah sirna dengan sendirinya, terutama masalah yang terkait dengan memotivasi dan mengelola orang. Ya, karena Great People akan memotivasi dirinya sendiri untuk selalu memberikan hasil yang terbaik bagi organisasi.

Ketiga, ia juga tahu persis bahwa organisasi dengan arah yang tepat namun diisi dengan orang-orang yang tidak tepat, tidak akan pernah menciptakan organisasi yang hebat (great organization). Kata Jim Collins, “great vision without great people is irrelevant.”

Ruthless vs Rigorous Organisasi-organisasi yang menerapkan prinsip First Who then What tidak memiliki budaya yang kejam (ruthless), melainkan tegas (rigorous).

Ruthless berarti mengganti orang sembarangan tanpa pertimbangan yang matang. Di sini si pemimpin membiarkan orang tetap bekerja padahal mereka banyak membuang waktu berharga si pemimpin. Sementara pada saat yang bersamaan sebenarnya si pemimpin memiliki kesempatan untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih baik.

Sedangkan rigorous berarti si pemimpin secara konsisten menerapkan standar yang tepat pada setiap kesempatan dan tingkatan. Orang-orang terbaik tidak perlu merasa khawatir atas posisinya dan dapat berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya.

Bagaimanakah cara bersikap rigorous?

Pertama, ketika ragu terhadap orang yang akan direkrut, maka jangan keburu diterima, tetaplah mencari yang terbaik. Untuk tumbuh, perusahaan jangan hanya fokus pada pasar, teknologi, dan kompetisi. Perusahaan sebaiknya berkonsentrasi pada pencarian orang-orang hebat dan sebaik mungkin mempertahankannya.

Ingat Hukum Packard (berasal dari nama David Packard, salah satu pendiri Hewlett-Packard) yang mengatakan: “No company can grow revenues consistently faster than its ability to get enough of the right people to implement that growth and still become a great company.” (Tidak satupun perusahaan dapat menumbuhkan pendapatan secara konsisten lebih cepat dibanding kemampuannya memilih orang-orang yang tepat untuk mengimplementasikan pertumbuhan tersebut dan tetap menjaga sebagai perusahaan hebat).

Kedua, ketika kita tahu bahwa perlu dilakukan perubahan orang, maka lakukanlah. Orang-orang hebat tidak perlu diatur, namun cukup dibimbing dan diberi pengertian. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak tepat, yang tetap berada di dalam organisasi? Ketika kita membiarkan orang-orang yang tidak tepat tetap berada di posisinya, maka hal itu akan merepotkan seluruh tugas kepemimpinan kita.

Orang-orang yang tidak tepat akan selalu menjadi pikiran bagi kita dan seringkali menghabiskan energi kita, sangat melelahkan. Dalam melakukan perubahan, lakukanlah segera, jangan menunggu. Seringkali perubahan orang ini ditunda-tunda disebabkan ketidaknyamanan untuk mengganti orang-orang yang tidak tepat. Celakanya, hal tersebut seringkali berdampak pada orang-orang yang tepat, disinilah sesungguhnya terjadi “kekejaman” pada orang-orang yang tepat tersebut. Perusahaan Good to Great tidak memiliki teori “try a lot of people and see who works”, coba-coba merekrut sebanyak mungkin orang, lantas dilihat mana yang bagus. Mereka menggunakan waktunya untuk mencari orang yang sangat tepat untuk suatu posisi.

Ketiga, tempatkan orang-orang terbaik kita pada peluang terbesar, bukan pada masalah terbesar. Sebagai pemimpin, satu hal ini harus kita camkan: “When you decide to sell off your problems, don’t sell off to your best people (bila kita memutuskan untuk membereskan masalah kita, janganlah memberikannya kepada orang-orang terbaik kita). Tempatkan orang-orang terbaikmu di pusat-pusat pertumbuhan bisnis, jangan tempatkan mereka pada bisnis yang sedang sekarat.

Organisasi Good to Great memiliki kebiasaan menempatkan orang-orang terbaiknya pada peluang terbesar, bukan masalah terbesar. Jajaran pemimpin dari organisasi Good to Great terdiri dari orang-orang yang sangat bersemangat untuk saling berdebat dalam rangka mendapatkan solusi terbaik; dan mereka solid mendukung begitu solusi terbaik tersebut sudah diputuskan.

Di sini kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang dapat berdebat dan memiliki argumen (bukan “yes man”) untuk memperoleh jawaban terbaik di satu sisi. Namun di sisi lain, mereka juga secara penuh dan komitmen tinggi mendukung setiap keputusan yang telah dibuat. Jadi mereka bukanlah problem maker yang sibuk kasak-kusuk dan berpolitik untuk memancing di air keruh.

Menutup CEO message ini saya ingin mengutip sekali lagi kata-kata bijak Jim Collins, “the right people are your most important assets.” Orang-orang yang tepat adalah aset terpenting dari sebuah organisasi. Dan ingat, orang-orang yang tepat tersebut lebih banyak ditentukan oleh karakter (character) dan kapabilitasnya (capability) dibandingkan dengan keahliannya (skill).

Akhirnya saya berharap bahwa organisasi yang kita cintai ini bisa mengimplementasikan prinsip First Who then What dan mampu menempatkan orang-orang terbaik di posisi-posisi terbaik. Dengan orang-orang terbaik sudah berada pada posisinya, saya yakin Kemenpar akan menjadi Great Ministry dengan kinerja yang luar biasa. Mari kita wujudkan organisasi yang kita cintai ini menjadi kementerian terbaik di negeri ini dan mampu mengalahkan negara-negara pesaing dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Salam Pesona Indonesia. (*/dnl)