JAKARTA - Kemenkes telah mengumumkan 14 rumah sakit yang terindikasi memberikan vaksin palsu pada pasiennya. Namun ini dianggap belum cukup memberikan rasa aman bagi pasien yang menjadi korban vaksin palsu, jika pihak managemen rumah sakit tidak transparan.

Ketidak transparan seperti sejak tahun berapa saja pihak rumah sakit tersebut memberikan vaksin palsu pada pasien. Hal tersebut diungkapkan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi kepada GoNews.co melalui pesan elektroniknya, Jumat (15/07/2016) malam.

"Kemenkes harus bisa memaksa rumah sakit untuk membuka data dan nama pasien yang menjadi korban vaksin palsu di masing-masing rumah sakit, untuk kemudian diberikan vaksinasi ulang dan ramdom check perlu tidak vaksinasi ulang," ungkapnya.

Pihak rumah sakit kata Tulus, harus memberikan jaminan secara tertulis sebagai bentuk tanggung jawab dan menanggung semua dampak kesehatan kepada pasien korban vaksin palsu. Ganti rugi tersebut bisa secara materiil dan immateriil.

"Jika pasien belum puas dengan jaminan yang diberikan pihak rumah sakit, pasien korban bisa melakukan gugatan pada rumah sakit bahkan pada pemerintah, baik secara individual dan atau class action (gugatan kelompok)," ujarnya.

Masalah vaksin palsu ini sambung dia, hanyalah satu titik masalah dari fenomena pemalsuan produk-produk farmasi (obat palsu) di Indonesia yang sebenarnya masih sangat marak.

"Oleh karena itu, masalah vaksin palsu harus menjadi titik pijak untuk membongkar adanya fenomena obat palsu di Indonesia. Penguatan kelembagaan/institusi untuk melakukan hal ini, termasuk dalam pengawasan reguler harus dilakukan," ujarnya.

Jika pihak Istana mengatakan bahwa Badan POM harus direstrukturisasi, ya, kembalikan peran Badan POM yang selama ini justru diamputasi Kemenkes. Sementara Kemenkes dan Dinkes tidak melakukan pengawasan yang optimal di sisi hilir. (***)