MEDAN - Ibadah puasa Ramadhan atau syiam yang saat ini dilaksanakan umat Islam pada hakikatnya adalah usaha maksimal untuk mengontrol dan mengendalikan hawa nafsu. Kenapa demikian? Karena pada diri setiap anak manusia cenderung bercokol sikap tamak dan rakus. Meski puasa Ramadhan hanya dilakukan selama satu bulan, semestinya pengontrolan dan pengendalian hawa nafsu harus dilakukan setiap saat oleh setiap diri pribadi.

Tidak pandang waktu dan tempat. Kapan dan di mana saja, hawa nafsu harus dikendalikan. Seorang pejabat misalnya harus memiliki kendali yang kuat untuk mengontrol hawa nafsu. Jika tidak, amanah tugas yang diemban akan selalu disalahgunakan dan diselewengkan demi memuaskan hawa nafsunya. Seorang pengusaha, pedagang, dokter, pengacara, abdi negara dan berbagai profesi lainnya dituntut kesadaran dirinya dari benak hati yang paling dalam untuk melakukan pengendalian terhadap hawa nafsu.

Demikian tausyiah Ramadhan 1437 Hijriah yang disampaikan Al-Ustadz Drs. H. Muslim Lubis, SH, MA melalui sambungan komunikasi dengan GoSumut (GoNews Group), Minggu (12/6/2016).

Mengendalikan dan mengontrol hawa nafsu, kata Ustadz yang juga Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Sumatera Utara ini, bukanlah kerja yang mudah. Sangat sering makhluk yang namanya manusia lupa melakukan kontrol dan rem untuk mengendalikan hawa nafsu. Akibatnya sering terperosok ke jurang kenistaan, perbuatan aniaya dan zolim.

Karenanya, agama mengajarkan agar setiap insan melakukan pengendalian yang terus-menerus dan tanpa henti terhadap hawa nafsu. Jika tidak, hawa nafsu akan menjadi musuh yang sangat berbahaya bagi diri kita sendiri. Dia bisa menjerumuskan bahkan bisa membunuh, langsung maupun secara tidak langsung.

Cara efektif mengontrol, mengendalikan dan melawan hawa nafsu, katanya, adalah dengan banyak bersabar dan selalu bersyukur kepada Sang Pencipta Segenap Alam, Allah Swt. Syukur tidak hanya sebatas mengucapkan puji-pujian kepada-Nya seperti kalimat "Alhamdulillah" atau segala puji bagi-Nya, tapi harus dijewantahkan pula dalam wujud perbuatan baik (amal sholeh) dalam kehidupan sehari-hari. Sementara proses latihan yang rutin dan umum adalah dengan selalu mengingat Dia, Allah. Ketika berjalan, duduk, bekerja maupun saat berbaring, selalu mengingat nama-Nya.

Bagi umat Islam, selain dengan setiap saat selalu mengingat Dia (zikir), praktik pelatihan yang sudah baku dan wajib adalah melalui "Syiam" (puasa) yang dilaksanakan selama satu bulan (29 atau 30 hari sesuai kalender Qamariah atau bulan) maupun puasa-puasa lainnya diluar itu seperti puasa hari Senin dan Kamis.

Syiam atau puasa, tidak hanya sekadar menahan haus dan lapar. Tapi jauh lebih luas adalah kemampuan melawan hawa nafsu dari segala keinginan berbuat dosa, kemaksiatan serta membuat kerusakan di muka bumi, dan mengubahnya menjadi perbuatan kebaikan, perbuatan kebenaran yang tentu diridhoi Allah Swt.

"Sekali lagi, sungguh sangat tidak gampang mengontrol, mengendalikan maupun melawan hawa nafsu. Begitu beratnya, sampai-sampai Rasulullah Muhammad Saw menyatakan: 'Melawan hawa nafsu merupakan jihad yang paling besar'. Hadist ini disampaikan Rasulullah Muhammad Saw kepada kaum muslimin ketika kembali setelah menang dalam sebuah peperangan besar melawan kaum yang menyekutukan dan mengingkari adanya Allah," kata Muslim.

Betapa sebuah perang yang mematikan dan mempertaruhkan nyawa, hidup atau mati seperti perang Badar yang dahsyat dikatakan bukan jihad yang terbesar. Karena jihad yang paling besar, best of the best itu sesungguhnya adalah melawan hawa nafsu. Melawan, mengontrol dan mengendalikan segala keinginan-keinginan duniawi yang tidak dikehendaki Allah, Dia Sang Pencipta Segenap Alam.

Dikatakan Ustadz kelahiran Tapanuli Selatan ini, hawa nafsu atau keinginan-keinginan dari dalam diri memang sunnatullah (ketentuan Allah) yang diberikan kepada setiap makhluk-Nya termasuk manusia. Keinginan-keinginan itu tidak harus dibunuh atau dikebiri, tapi harus dikontrol, dibimbing dan dikendalikan. Karena pada prinsipnya, hawa nafsu dapat mendorong manusia untuk mampu bertahan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup. Akan tetapi, ketika manusia memperturutkan hawa nafsu. Maka ketika itu pula dia terjerumus dalam lembah perbuatan dosa.

Kebutuhan melangsungkan hidup seperti makan, katanya, adalah hakikat dan kewajiban. Tapi ketika kebutuhan makan berubah menjadi keinginan agar makan serba lezat tanpa mau bekerja dengan cara yang halal adalah langkah memperturutkan hawa nafsu. Termasuk memakan makanan yang serba lezat meski didapat dengan cara yang halal tapi tidak memperdulikan orang lain yang masih kesulitan makan karena kemiskinannya, tergolong perbuatan memperturutkan hawa nafsu.

Begitu juga dengan kepemilikan akan harta benda. Ketika orang lain masih dalam kesusahan karena kemiskinan yang bukan disengaja, sementara ada orang lain lagi yang hidup dalam kemewahan. Selain tidak saja tergolong memperturutkan hawa nafsu, orang itu termasuk manusia yang kufur pada nikmat alias tidak tahu bersyukur. Mereka yang kufur pada nikmat ini, tidak saja dicela Allah Swt. Tapi juga dikelompokkan pada golongan manusia yang musyrik, yakni menyekutukan Allah.

"Kalau sudah demikian, apalah lagi artinya hidup ini? Karena hidup adalah batu loncatan untuk menuju tujuan akhir yakni kehidupan sesudah mati yang lazim disebut Akhirat. Kehidupan di Akhirat yang penuh rahmah tanpa hukuman dari sang pencipta alam sangat ditentukan oleh amal ibadah dan kebaikan-kebaikan yang kita perbuat selama hidup di dunia," pungkas Muslim Lubis dalam tausyiahnya. ***