JAKARTA- Dari mendarat pagi pukul 08.30 di Incheon Airport, perjalanan ke Conrad Hotel Seoul, 10.30, Menpar Arief Yahya langsung One on One Meeting. Tidak sempat menyelonjorkan kaki sekedar istirahat minum teh ginseng khas Korea Selatan. Dia langsung menerima tamu non stop, dengan 8 bos perusahaan satu per satu, hingga sore menjelang makan malam.

“Persoalan kritis mengapa wisman asal Korea rendah itu adalah akses! Direct flight Seoul ke Jakarta dan Denpasar sangat terbatas, dan semua full service! Tidak ada LCC, low cost carrier,” sebut Menpar Arief Yahya di Seoul.

Karena itu kesempatan bertemu muka dengan Presiden Jeju Air, Mr Ken Choi dan GM Jeju Air, Mr Park Hyuk itu menjadi istimewa. “Kami tertarik untuk terbang ke Manado, karena bisa di-connect dari penerbangan kami ke Filipina. Ada dua hal yang harus kami tempuh dulu, pertama izin mendapatpan slot untuk mendarat di Manado. Kedua, kami harus punya mitra lokal, atau penerbangan Indonesia untuk bekerjasama,” kata Mr Ken Choi, bos Jeju Air yang berdiri sejak 2005 itu.

Jeju Air, adalah maskapai yang sahamnya dimiliki oleh Aekyung Group (81.7%) dan Pemerintah Provinsi Jeju (4.54%). Dia lahir untuk menggenjot kunjungan wisatawan ke Jeju, dan sekarang sudah menerbangi China, Jepang, Filipina, Vietnam, Thailand, Hongkong, Taiwan, dan Guam. Di Filipina yang paling dekat dengan Manado, mereka bermitra dengan Cebu Air, maskapai lokalnya.

“Kalau kami dibantu untuk izin terbang, dan mitra sesama LCC, seperti Lion, kami tertarik mengembangkan penerbangan ke Manado,” ungkap Ken Choi.

Manado bisa menjadi pintu bagi wisman Korea yang diangkut oleh Jeju Air ini untuk menyebar ke destinasi lain di Indonesia. Cukup dengan domestic flight. Jeju Air sendiri bermarkas di Jeju City, dan terbang ke Seoul mendarat ke Gimpo International Airport. Dari Jeju ke Filipina itu sekitar 4 jam, dan jika dilanjut ke Manado, mungkin hanya 5 jam. Masih masuk akal untuk direct flights. “Oke, kami akan bantu dan follow up dari dua persoalan itu,” jawab Arief Yahya.

Pertemuan kedua dengan airlines adalah Jin Air Co. Ltd, maskapai LCC juga yang merupakan anak perusahaan Korean Air. Dulu Jin Air itu namanya Air Korea, dia berdiri tahun 2008 dengan hanya melayani rute regional di Korea saja. Oktober 2009, Jin Air mulai terbang ke Makau, Guam dan Bangkok. “Sekarang kami juga terbang ke Honolulu, Hawai, Phuket, Kinabalu, Laos, dan Filipina,” aku Mr Lee Kuang, Vice President of Jin Air.

Jin Air malah tertarik untuk terbang ke Lombok, NTB. Satu dari 10 Destinasi Utama yang sedang dibangun cepat oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Persoalannya juga sama dengan Jeju Air, soal izin untuk mendarat ke Lombok tersebut. “Selain itu, kami harus berpromosi bersama dengan Kemenpar untuk menjual paket wisata dengan tujuan Lombok Indonesia,” kata Mr Lee Kuang.

Menpar Arief Yahya pun menyanggupi dua hal itu, soal membantu mempercepat pengurusan izin mendarat dan beroperasi di Indonesia. Juga bersama-sama mempromosikan paket terbang ke Indonesia. “Saya juga mau Jin Air juga terbang ke Manado, sehingga ibu kota Sulawesi Utara itu semakin hidup pariwisatanya,” ungkap Arief Yahya.

Mantan Dirut PT Telkom itu tidak bosan-bosan mengungkapkan pentingnya rumus 3A itu. Atraksi, Akses dan Amenitas, yang biasa disingkat 3A. Soal Atraksi, Arief Yahya yakin potensi Indonesia dan di semua daerah itu oke. Dari soal culture, nature dan man made-nya bisa diandalkan. Tetapi soal akses, itu tidak bisa diabaikan. Sebaik, seindah, sesempurna apapun, kalau tidak ada “jembatan masuk” terus mau lewat mana wisman itu.

“Kita baru sadar kan? Kalau akses dari Korea ke Indonesia itu sangat minim? Tidak ada LCC, penerbangan yang murah meraih tetapi tetap aman? Bagaimana mau mendapat jumlah wisman banyak kalau aksesnya minim dan mahal,” sebut ahli marketing itu yang sudah menulis buku, Paradox Marketing, Great Spirit Grand Strategy, dan C2C – Creativity to Commerce itu.

Bahkan disebut, Paket ke Bali itu jauh lebih mahal daripada paket wisata ke Hawai, dari Seoul. Sedangkan A ketiga, adalah Amenitas. Sebuah destinasi tanpa didukung amenitas, seperti hotel, homestay, convention, restoran, café, transport local, mal, souvenir shop, dan lainnya juga tidak menarik wisatawan. Fasilitas ini juga harus ada, dan siap untuk membuat destinasi itu kuat. Tiga A itu adalah kebutuhan dasar sebuah destinasi itu akan hidup. “Karena itu, harus dikejar dan dikebut terus," katanya. (*/dnl)