KAMPUNG Lotak, Kecamatan Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara, telah menjadi saksi bisu dari sebuah perjuangan panjang yang tak kenal lelah dari seorang putra terbaik Minangkabau, yang bernama Peto Syarif bergelar Tuanku Imam Bonjol.

Sejak dikhianati penjajah Belanda hingga terbuang ke sebuah rawa di pinggir sungai, Tuanku Imam menjalani kehidupan spritual tersendiri. Hari-harinya dihabiskan bertafakur, beribadah di atas sebuah batu picak, yang pas untuk shalat seorang diri.

Mengisi waktu senggang di sela acara Pekan Informasi Nasional (PIN 2012) di Manado, yang berlangsung 22 sampai dengan 26 Mei 2012 lampau, saya menyempatkan diri berziarah ke makam Tuanku Imam Bonjol, bersama Thamrin Kepala Bidang Pemberdayaan Informatika dan Postel Diskominfo, Kota Palembang.

Menempuh jalan mendaki melereng bukit, dari Manado menuju Minahasa, jalanan terasa sepi. Arus lalu lintas tidak sepadat Padang - Bukittinggi. Begitu memasuki daerah Kampung Lotak yang berlokasi sekitar 20 km arah barat Manado, suasana terasa hening. Tidak ada terdengar suara mobil dan motor. Kalaupun ada hanya sekali-sekali.

Sekitar sekilo setengah, menyimpang ke kiri dari jalan raya, terasa suasana pedesaan. Sama dengan komplek taman makam pahlawan lainnya. Pada lokasi ini tersedia areal parkir yang luas. Kemudian ada beberapa anak tangga menuju ke pusara Tuanku Imam yang telah dibuat bergonjong bagai rumah adat Minang.

Memasuki rumah pusara, tercium bau wangi bunga rampai. Ternyata memang bunga pengharum itu sudah bertaburan di atas makam. Pada bagian kepala pusara tertulis: Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, gelar Tuanku Imam Bonjol, Pahlawan Nasional. Lahir tahun 1774 di Tanjung Bungo/Bonjol, Sumatera Barat. Wafat tanggal 8 November 1854 di Lotak, Minahasa, dalam pengasingan pemerintah Kolonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan tanah air, bangsa dan negara.

Di atas batu mejan yang bertulis itu pula, tersedia beberapa kitab surat yasin dan, sekumpulan do'a.

"Silahkan Bapak, kalau mau ke bawah ada batu besar tempat ibadah beliau, Tuanku Imam," kata Nurdin Popa, 50 tahun, yang sehari-hari bekerja menunggui tamu yang datang berziarah ke makam Tuanku Imam.

Nurdin tinggal bersama istrinya Maimunah, 50 tahun, di komplek pekuburan Tuanku Imam. Rumahnya sederhana saja, seukuran RS tipe 21. Begitu juga rumah yang ditempati ibunya, Ainun, 70 tahun, bersama ayahnya Abdullah Popa 80 tahun.

Adiknya, Nona Popa, 30 tahun, dengan sang suami Rudal Sangir, 35 tahun, berjualan minuman dan makanan ringan di kediamannya, yang juga berada di komplek yang sama, di sisi kanan pintu masuk makam.

"Kami orang sekeluarga mendiami komplek ini turun tamurun. Saya punya ibu turunan pengikut setia Tuanku Imam. Nama moyangku itu Apolos Minggu. Tapi gelarnya Datuk Bagindo Sidi," kata Nurdin sambil menuruni 60 anak tangga mengantar saya ke tepi Sungai Malalayang, yang mengalir tenang dari Gunung Lokon sampai ke pantai Manado.

Saya coba menerjemahkan pikiran Nurdin tentang nama Apolos Minggu, mungkin dahulunya nama beliau Polo, sebutan sehari-hari si Polo. Sebab dalam sebuah lagu Minang ada disebut si Polan jo si Polo. Kemudian kata Minggu di belakang Apolos Minggu, mungkin berasal dari sebutan Mangguang. Jadi nama sebenarnya Polo Mangguang bergelar Datuk Bagindo Sidi.

Ketika saya menyampaikan ihwal nama dari nenek moyangnya itu kepada Nurdin, dia tersenyum mengangguk-angguk, "Itu mungkin saja Bapak, torang tidak bisa bahasa Minang," kata Nurdin dengan dialek Minahasa. Dia mengaku bangga kalau dia turunan orang Minangkabau.

Menurut Nurdin, datuknya Apolos Minggu, pengikut setia Tuanku Imam. Apolos yang masih muda, bekerja memasak dan membuatkan air minum Tuanku Imam. Setelah umurnya cukup dewasa, Tuanku Imam menyuruh dia menikah dengan seorang gadis Minahasa, yang masa itu telah masuk Islam dan menjadi murid mengaji Alquran dari Tuanku Imam.

Apolos tinggal bersama istrinya, tinggal bersama dalam rumah kecil di komplek pemakaman sekarang. Tepatnya di pinggir jalan di ketinggian. Sementara Tuanku Imam memilih bertafakur di pondok tepi sungai, yang letaknya 20 meter di bawah tebing.

Hingga kini, untuk menuju tempat ibadah Tuanku Imam itu, menempuh anak jenjang berkelok-kelok di sela pohon bambu.

Kata Nurdin pula, dahulu di daerah pengasingan Tuanku Imam, banyak nyamuk malaria. Ketika Tuanku Imam diasingkan ke daerah itu, nyamuk malarianya tidak ada. Tetapi sepeninggal Tuanku Imam, masyarakat sekitar dijangkiti demam malaria.

Akhirnya, masyarakat setempat menggeser sedikit tempat tinggal mereka ke arah hilir sungai. Daerah baru itu disebut Pineleng, artinya pilihan. Tempat tinggal pilihan.
Kini tempat ibadah Tuanku Imam di tepi sungai, sudah dipugar. Nurdin yang dulunya sehari-hari kerja bangunan, sejak sepuluh tahun terakhir, telah mengkhususkan dirinya melayani tamu dan memelihara komplek makam dan tempat ibadah Tuanku Imam.

Khusus tempat ibadah, dia sendiri yang mengumpulkan uang dari para peziarah. Uang itu dibelikan bahan bangunan dan dia kerjakan dengan bantuan seorang tukang.
"Banyak peziarah datang dari seluruh provinsi, tapi yang terbanyak itu mereka datang dari Jawa. Mereka tinggal semalam berzikir di tempat ini. Besok paginya langsung pulang ramai-ramai," kata Nurdin sembari menunjukkan surau kecil yang muat berzikir sekitar 20 orang.

Sebelum masuk ke surau yang tidak ada mikrabnya itu, peziarah bisa berwuduk di sumur di tepi tebing. Pada sisi kiri sumur itu pula terhampar batu besar tempat shalat Tuanku Imam. Sumur yang bergaris tengah lebih kurang 80 cm itu airnya jernih. Di sumur itu pula Tuanku Imam berwuduk sebelum shalat.

Tuanku Imam terbilang orang yang sangat rajin melakukan shalat. Hingga kini terlihat cekungan di bagian batu tempat bekas sujutnya. Para peziarah yang ingin melaksanakan shalat di batu bersejarah itu, dapat berwuduk langsung, mengambil air cukup dengan gayung penimba.

Melihat tempat wuduk dan tempat shalat yang bersih, wajar kalau para peziarah yang datang ke tempat ini merasa senang. Tamu yang datang bisa bersuci dan berwuduk dengan mudah. Suasana sepi menambah khidmat beribadah.

"Ini semua kita buat dari hasil sumbangan peziarah," kata Nurdin yang merupakan turunan kelima dari Apolos Minggu.

Kenyamanan berziarah ini, juga diakui Hj Fatma Kaunang, 66 tahun. Dia turunan Palembang, berdarah Minahasa. Dia mengaku, datuknya pengikut Imam Bonjol.
"Datuk saya dulu pengikut Tuanku Imam juga, tapi dia orang Palembang, bukan orang Padang," kata Fatma Kaunang. Sama dengan Nurdin yang keturunan pengawal Tuanku Imam adalah pihak ibunya. Sedangkan marga Kaunang diperoleh Fatma dari ayahnya, yang sejak menikah dengan ibunya masuk Islam dan sudah haji sebelum wafat.

Ketika dijumpai, Hj Fatma berdagang nasi kuning di Jalan Sudirman, Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, Kota Manado. ***

* Penulis adalah Kabag Humas Pemko Padang Panjang