SYDNEY- Satu terobosan lagi, Menpar Arief Yahya yang bakal membawa gerbong Kementerian Pariwisata RI melompat menuju target super optimistic 20 juta di tahun 2019. Go Digital! Betuknya: Digital Market Place! Itulah satu program yang akan merevolusi marketing pariwisata Indonesia selama ini. Itu pula mengapa memilih Sydney, Australia sebagai tempat menimba pengalaman.

“Saya ingin saat HUT RI ke-71, tanggal 17 Agustus 2016, Platform Digital Market Place pariwisata ini sempurna untuk diluncurkan! Saya ingin, setahun kemudian, 2017, Wonderful Indonesia naik panggung sebagai the best digital marketing in the world. Saya ingin membuktikan bahwa More Digital More Global,” kata Arief Yahya yang juga Mantan Dirut PT Telkom Indonesia itu.

Dalam dunia digital, salip menyalip teknologi aplikasi, kejar mengejar kecepatan komunikasi data, kompetisi menyediakan content terbaik adalah habitat Arief Yahya bertahun-tahun selama berkarier di sektor telekomunikasi. Karena itu dia sangat confidence, bahwa semakin digital semakin personal, semakin digital semakin global, semakin digital semakin professional. “Akan saya buktikan penggunaan digital itu akan membuat pariwisata Indonesia melompat lebih tinggi,” ungkapnya.

Memang tidak gampang, menjelaskan pada orang-orang “gatal” alias gagap digital tentang bagaimana digital itu berkerja. Ada pihak yang masih “loading” dengan kata-kata “Makin Digital, Makin Personal, Makin Global?” Personal dan Global adalah dua kata yang berbeda makna. Dua kata yang berseberangan, dan paradoksal. Yang satu single, focus satu orang. Yang satu lagi jamak, atau majemuk, yang bisa menyenggol siapa saja di muka bumi.

Rupanya, itulah salah satu pembuktian “Paradox Marketing”, sebuah teori yang pernah ditemukan Dr Ir Arief Yahya MSc. “Mengapa saya sebut semakin personal? Karena hanya di dunia digital, bisa memahami costumers sangat detail. Sukanya apa? Kebiasaannya bagaimana? Mimpinya apa? Mereka sedang ke mana? Saya sering menyebut, semua orang itu telanjang di digital, semua bisa diketahui dengan sangat detail,” ujar Arief Yahya.

Sebaliknya, digital juga bisa global, mendunia, menyentuh semua orang di muka bumi. Contohnya permainan Angry Birds, dari semua level, di semua negara, di semua benua, mereka sama-sama suka dengan permainan itu. Medsos, dari Facebook, Twitter, Instagram, Pinterest, jutaan manusia menjadi member dari berbagai suku, bangsa, bahasa, adat, kebiasaan, di seluruh dunia. “Jadi apa saya yang menarik, bisa mendunia, menerobos benteng-benteng negara dan kekuatan kelompok," tukasnya.

Lalu apa yang akan dilakukan setelah kunker ke Sydney, Australia? Di Negeri Kanguru itu, Menpar Arief Yahya didampingi Deputi Pengembangan Pemasaran Mancanegara I Gde Pitana, Stafsus Bidang IT Samsriyono dan Konjen RI di Sydney, Yayah G Mulyana itu menyaksikan Wonderful Indonesia Festival dan Travel Fair 2016 di Darling Harbour, 30 April dan 1 Mei 2016. Lalu bertemu dengan Minister of Tourism and International, Senator the Honorary Richard Colbeck, di Qantas Chairmans Lounge, Badara Kingsford Smith, Sydney.

“Kami tawarkan beberapa konsep dan mereka sangat senang. Dan, kami juga minta izin untuk belajar platform digital Travel X-change Austalia (TXA) yang sudah diterapkan di Australia,” kata Arief Yahya. “Dengan senang hati, silakan ditindak lanjuti. Kami tertarik untuk membuat paket joint marketing untuk pasar Timur Tengah dan China, ke dua destinasi Indonesia-Australia,” jawab Richard Colbeck.

Pertemuan demi pertemuan dilakukan, baik dengan Kementerian Pariwisata Australia di Canberra, lalu Australia Tourism Data Warehouse (ATDW), South Australian Commision (SATC) dan Tourism Exchange Australia (TXA) yang juga dikenal dengan V3 itu di Novotel Harbour Darling, Sydney. “Kami semakin yakin, kami akan membangun platform digital market place, yang akan dinamai Travel X-change Indonesia (TXI),” ujar Menpar.

Gambar besarnya adalah, semacam membangun mal besar untuk menjual barang-barang berupa paket-paket wisata dari semua destinasi dari Sabang sampai Merauke. Mal itu hanya virtual, sekedar istilah untuk menyederhanakan agar pada “Gatal” Gagap Digital, mudah membayangkan. Mal besar itu seperti tempat orang untuk menawarkan berbagai program dan paket wisata. Di mal itu orang bisa melihat-lihat, mengamati, membooking, sampai membayar di kasir.

Sama dengan di Digital Market Place (DMP) itu. Tempat orang dari seluruh pintu dunia melakukan searching, atau Look. Lalu tertarik dan mulai Booking. Sampai pada system pembayaran, Pay. Selama ini Look, Book, Pay itu dimiliki oleh provider yang berbeda-beda. Ada yang spesialis Look, seperti Baidu dan Google. Ada yang berangkat dari Book, seperti TripAdvisor, Expedia dan C-Trip. Ada juga yang besar dari Pay, seperti Alitrip (Alibaba), Booking.Com, Visa Card, Master Card, dan lainnya.

DMP yang sedang didesain oleh Menpar Arief Yahya adalah konsep TXI (Travel X-change Indonesia) dengan one stop services, dari Look, Book, sampai ke Payment. Mirip mal, ada tempat melihat-lihat dulu, ada tempat booking ketika sudah cocok harga dan barang, ada juga tempat pembayaran.

Bagaimana bisa bersaing? Dengan kolaborasi korporat dunia, pemain-pemain digital yang sudah lebih dulu eksis? Seperti gabungan C-Trip dan Baidu di China? C-trip itu adalah OTA –online travel agent—terbesar di China, dengan market share 70%. Baidu adalah mesin pencari, atau Googlenya China, yang menguasai hampir 75% di Negeri Tirai Bambu itu.

Dua gajah raksasa yang berbeda platform bergabung, saling komplementer, saling melengkapi. Sudah tentu, pasar Tiongkok, dengan 110 juta outbond rata-rata per tahun itu tidak akan tergeser oleh siapapun, karena kebutuhan mereka sudah lengkap terlayani.

Begitupun TripAdvisor dengan Booking.Com yang sudah bergabung, maka fungsi Look Book Pay sudah lengkap. “Pemain besar dunia biarkan mereka tetap memainkan perannya. Aktivitas mereka lebih banyak menjual tiket pesawat, dan hotel berdiskon khusus. Biarkan mereka terus berkompetisi dan kita tetap memanfaatkan jalur yang sudah mereka bangun bertahun-tahun,” ungkap Menpar Arief Yahya.

Lalu bagaimana posisi TXI? Apa akan bersaing dengan raksasa-raksasa digital di atas? “Pasti tidak! Justu saling melengkapi. Pertama, untuk memberi lapak pada manual travel agent atau traditional travel agent yang jumlahnya ribuan di Indonesia, agar mereka bisa ikut bersaing di dunia digital marketing. Kalau tidak ikut bermain di arena ini, mereka akan semakin tertinggal jauh dan tenggelam oleh zaman. Ibaratnya, mereka itu pelaku-pelaku bisnis di pasar tradisional, nah sekarang kita ajak berjualan bersama di mal, dibuatkan toko di dalam mal,” kata Arief Yahya.

Kemenpar, kata Arief Yahya, tidak boleh meninggalkan pelaku bisnis lama di travel agent itu. Kalau dibiarkan mereka bersaing sendiri di alam yang sudah berubah itu tidak bijak. Mereka, cepat atau lambat, akan semakin terpinggirkan, dan bisa-bisa terlempar dari bisnis pariwisata yang semakin mengglobal. “Teknisnya, nanti kalau platform DMP itu sudah selesai, mereka kita training, kita ajarin bagaimana membuat paket? Mendesain produk paket? Meng-up load sendiri, dan trik atau cara untuk mendapatkan impresi lebih banyak,” tukasnya lagi.

Arief mencontohkan bisnis wartel atau warung telekomunikasi, yang pernah berjumlah 120.000 se Indonesia. Ketika GSM berkembang, handphone mengambil alih fungsi wartel. Maka, mereka harus switch, harus berubah pikiran, dan menutup bisnis wartelnya. “Kalau tidak, anda bisa membayangkan, pasti wartel akan menjadi barang langka saat ini,” kata dia. Bagaimana dengan era traditional travel agent? Apakah akan bernasib sama? Itulah mengapa harus sedia payung sebelum hujan. (*/dnl) bersambung