JAKARTA - Pemerintah dinilai tidak transparan dalam penentuan harga bahan bakar minyak jenis solar. Harga solar subsidi seharusnya di kisaran Rp4.000 per liter. Meski harga solar bersubsidi sudah turun Rp500 per liter menjadi Rp5.150 per liter pada 1 April lalu, harga tersebut dinilai masih mahal. Harga solar bersubsidi bahkan lebih tinggi dibandingkan harga solar nonsubsidi yang senilai Rp5.000 per liter. Anggota Komisi VI DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan, harga solar bersubsidi seharusnya jauh lebih murah dari harga solar nonsubsidi. Karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah mengalokasikan subsidi Rp1.000 per liter untuk bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

''Ini (harga) tidak logis. Harga solar subsidi harusnya lebih murah ketimbang harga solar nonsubsidi. Ada indikasi manipulasi oleh pemerintah, dalam hal ini menteri energi dan sumber daya mineral, dalam menetapkan harga BBM subsidi,'' kata Bambang dikutip dari siaran persnya di Jakarta, Jumat, 8 April 2016.

Ia lalu mencontohkan, solar nonsubsidi atau keekonomian yang dijual oleh Petra Niaga, anak usaha PT Pertamina melalui PT Indoline Incomekita, turun menjadi Rp5.000 per liter dari harga sebelumnya Rp5.300 per liter.

Di beberapa daerah, solar nonsubsidi dijual seharga Rp5.000 per liter. Bahkan, di Surabaya, Jawa Timur, ada yang menjual Rp4.850 per liter.

Pemasok BBM di Balikpapan, Kalimantan Timur, misalnya PT Cindata, juga menjual solar industri Rp5.000 per liter.

''Di sinilah letak ketidaktransparanannya. Ini bukti bahwa rakyat tidak menikmati subsidi BBM dari APBN yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR sebesar Rp1.000 per liter. Seharusnya rakyat bisa menikmati solar pada kisaran harga Rp4.000 per liter, bahkan lebih murah lagi,'' kata Bambang. ***