JAKARTA- Mungkin ini yang disebut "salah fokus." Gerhana Matahari Total (GMT) 9 Maret 2016 menarik perhatian jutaan umat manusia di saentero jagat. Wajar, karena peristiwa alam yang unik, ada malam gelap di siang bolong, dan hanya 2-3 menit saja gelap gulita terjadi hanya 350 tahun sekali.

"Karena itu zaman dulu, fenomena alam ini sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat religius," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya di Jakarta.

Sekarang, kejadian unik soal posisi tata surya itu lebih dipandang sebagai objek penelitian dan momentum observasi lapangan. Pendekatannya sudah sangat ilmiah, karena itu peralatan teknologi yang dipakai pun semakin canggih. "Sampai-sampai soal teknologi teropong atau teleskop nya pun menjadi pusat perhatian tersendiri," jelas Menpar Arief.

Astronom Amerika Serikat, Jepang, India dan Inggris yang datang ke 12 Provinsi yang dilintasi GMT 9 Maret itu membawa perlengkapan yang beda-beda. Mereka cukup dekonstratif mempertontonkan peralatan canggihnya. Karena objek yang sama, dibidik dengan teknologi lensa yang berbeda hasilnya pasti berbeda.

Mereka akan memilih, mana yang lebih keren, lebih jelas dan lebih kelihatan. “Ini sama seperti pada gerhana matahari 1983. Banyak ilmuwan dari berbagai negara 'ngiler' untuk melakukan penelitian terkait gerhana matahari total. Cuma sekarang jumlahnya lebih besar. Magnitudenya lebih tinggi. Alat-alatnya pun lebih canggih,” terang I Gde Pitana, Deputi Pemasaran Mancanegara didampingi Asisten Deputi Bidang Pengembangan Pasar Asia Pasifik Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Vinsensius Jemadu, Minggu (06/03/2016).

Saat ini Indonesia sudah menyiapkan puluhan lokasi pengamatan. Ilmuwan, terutama para astronom. Mereka langsung menyebar ke puluhan titik tadi. Uniknya ilmuwan dan astronom Jepang tak mau disatukan dengan ilmuwan negara lain. Mereka memilih eksklusif.

Lokasi pengamatan GMT-nya terpisah dari lokasi pengamatan tim Amerika Serikat, India, Inggris dan Perancis. "Saya tidak tahu soal detail alat yang dibawa masing-masing negara. Yang jelas canggih. Amerika Serikat saja sudah menyiapkan peralatan dan instrumen berbobot 6 ton,” terang Vinsensius.

India juga tak mau kalah. Meski tim dan teknologinya tak seglamor Amerika Serikat, India bersedia menempati lokasi pengamatan yang berdekatan dengan Amerika Serikat. Bila area pengamatan tim Amerika Serikat mencapai 400 meter persegi, tim India hanya menempati lokasi seluas 21 meter persegi.

Inggris juga ikut membawa peralatan canggihnya. Tim yang disponsori Royal Society itu berniat meneliti komposisi kimiawi dari debu matahari yang beredar di bidang eluator matahari. Sayang, detail kelebihan dan kecanggihan alat pengamatannya belum diketahui. Yang jelas, lokasi pengamatannya berdekatan dengan Amerika Serikat. Yang agak berbeda adalah tim peneliti dan astronom asal Jepang.

Ilmuwan asal Negeri Matahari Terbit itu betul-betul eksklusif. Mereka lebih suka pecah ke dalam tiga titik di Kabupaten Sigi. “Alatnya canggih. Sangat besar. Hasil penelitiannya akan serentak dikoordinasikan dengan stasiun perekaman Onagawa (Jepang), Chun-Li (Taiwan), Townsville (Australia Utara) dan Beveridge (Australia Selatan),” urai Vinsensius.

Kesiapan tim peneliti asal Jepang rupanya diikuti ratusan warga negaranya. Sejak Sabtu pagi, sekitar 900 wisatawan Jepang sudah mendarat di Indonesia. “Angka 900 itu baru dari satu tour operator, yaitu Adventure Indonesia.  Belum semua. Data lengkapnya masih menunggu laporan tim di lapangan,” ujar Vinsensius.

Ratusan tamu tadi memilih menyebar ke sejumlah daerah yang dilewati GMT. Di Palembang, ada 200 pax, Pangkalan Bun Kalteng 150 pax, Palu Kabupaten Sigi 175 pax, Luwuk 50 pax, Balikpapan 150 pax, dan Borobudur 100 pax.  “Sebagian dari mereka sedang city tour di Kota Palu. Semua dalam pengawalan Polres Sigi,” ungkapnya. (*/dnl)