JAKARTA- Revisi UU terorisme, dianggap janggal oleh Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Arsul Sani. Kejanggalan tersebut terlihat dalam beberapa poin yang terdapat pada draf revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme yang diajukan Pemerintahan Joko Widodo.

Perpanjangan masa penangkapan menjadi 30 hari, menurutnya sebuah logika yang terbalik. Karena sesuai aturan berlaku, batas waktu penangkapan adalah 7x24 jam. "Kalau bisa ditangkep cepat kenapa harus menunggu 30 hari, seharusnya penangkapan itu setelah mendapat bukti, bukan untuk mencari bukti," ujar Arsul dalam diskusi di Jakarta, Minggu (28/2/2016).

Arsul juga menjelaskan, laporan intelijen saja sudah menjadi satu alat bukti yang kuat. Sementara alat bukti lainnya bisa dari keterangan saksi. Baginya, tak ada alasan untuk memperpanjang masa penangkapan.

"Pastinya ada keperluan untuk revisi itu, tapi tidak jadi logika terbalik begini," tukasnya. Dirinya juga berjanji, akan mengkritisi beberapa poin yang dianggap janggal tersebut di Badan Legislasi.

Sejumlah poin yang direvisi menurutnya, malah terkesan hilang dan lari dari fokus kebutuhan. Sementara menurut Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, penangkapan hanya periode transisi yang tidak butuh waktu sampai 30 hari.

Bahkan, sedianya waktu 1x24 jam pun cukup untuk menemukan bukti tambahan, tak perlu sampa berminggu-minggu. "Soal penangkapan itu salah tafsir. Ditangkap malah untuk cari alat bukti," kata Haris.

Sebelumnya, ada enam poin perubahan yang hendak diusulkan pemerintah kepada DPR dalam revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme, dari sisi penangkapan dan penahanan, akan ditambah waktunya. Kemudian dalam hal penyadapan, ijin yang dikeluarkan diusulkan cukup berasal dari hakim pengadilan saja.

Saat ini, yang berlaku yaitu ijin penyadapan dari ketua pengadilan negeri. Lalu pemerintah mengusulkan agar penanganan kasus dugaan tindak pidana terorisme diperluas. Aparat diusulkan sudah dapat mengusut terduga teroris sejak mereka mempersiapkan aksi.

"Ya pemerintah juga mengusulkan agar WNI yang mengikuti pelatihan militer teror di luar negeri dapat dicabut paspornya, lalu perlu adanya pengawasan terhadap terduga dan mantan terpidana teroris. Serta pengawasan yang bersifat resmi ini juga harus dibarengi dengan proses rehabilitasi secara komprehensif dan holistik," jelasnya. ***