PEKANBARU- Menurut pengamat terorisme Mujahiddin Nur, aksi para pelaku teror dan aksi ledakan di depan Starbuck atau Sarinah Jakarta Pusat, diduga menggunakan atau memanfaatkan media sosial sebagai jalur komunikasi.

Dengan demikian menurut Mujahidin Nur, pihak aparat Kepolisian mengalami sedkit kesulitan dalam melacak atau mendeteksi komunikasi para pelaku teror tersebut.

Kepada GoRiau.com, Mujahidin Nur mengatakan, kemungkinan tersebut bisa terjadi karena melihat bahwa media sosial atau telegram dijadikan alat komunikasi kelompok teroris yang sulit dideteksi oleh aparat. "Pada dasarnya alat komunikasi mereka sangat banyak, namun saya memperkirakan, bahwa dua alat itu yang dipakai oleh mereka," kata Mujahidin, Sabtu (23/01/2016) saat dihubungi GoRiau.com.

Bahkan menurutnya, selama ini kelompok ISIS juga menggunakan pola komunikasi dengan menggunakan alat-alat serupa. Berdasarkan dari hasil pengamatan Mujahidin Nur, yang saat ini juga menjabat Direktur The Islah Center, pola komunikasi pelaku teror menjadi hal yang krusial dan benar-benar harus diperhartikan. "Jika kita semua ingin meminimalisir aksi ataupun gerak-gerik yang berpotensi terjadinya aksi terorisme, ya kita semua dalam hal ini aparat Kepolisian, BIN dan Pemerintah harus benar-benar memperhatikan masalah komukasi mereka lewat media sosial," jelasnya.

Masih menurut Mujahidin, saat ini dalam melacak atau mecari keberadaan organisasi teroris, masih mengandalkan jaringan, ideologi, dan orang. "Kita harus lebih gesit dan lihai untuk memahami praktik terorisme ini, maka kita juga harus memahami pula pola komunikasi yang mereka lakukan," tukasnya.

Dimana kaum atau organisasi teroris, masih memakai sistem sel yang terputus, komunikasi antara satu sel dan sel lainnya itu lazimnya dilakukan oleh pemimpin sel. Hal itu dilakukan melalui komunikasi langsung dengan melakukan PM (personal meeting), biasanya pertemuan dilakukan di tempat-tempat yang sudah mereka pelajari dan kuasai dengan baik.

"Bagi mereka, komunikasi yang dianggap paling aman ya dengan memanfaatkan personal message (PM) atau menggunakan perantara kurir apabila jaraknya relatif cukup jauh, misalnya antar Provinsi atau bisa jadi malah antar Negara," jelasnya lagi.

Kepada GoRiau.com, Mujahidin juga menjelaskan, walupun cara-cara yang dilakukan mereka masih tergolong kuno dan tak moderen, namun para pelaku teror masih menganggap cara-cara tersebut adalah yang paling aman dalam menghindari tracking dan tapping,dibanding dengan menggunakan media berteknologi modern. Sistem komunikasi yang juga banyak digunakan oleh kelompok aksi teror adalah memakai kata kunci atau sandi.

"Saat ini mereka sudah jarang menggunakan kata sandi, karena bahasa sandi itu mudah dibongkar dan diketahui oleh aparat, apalagi jika sandi dikirim melalui ponsel atau messenger," katanya.

Namun kata sandi tersebut menurutnya, kembali digunakan para pelaku teror dengan memodifikasikan bahasa dimana mereka akan menggunakan media sosial dengan contoh meninggalkan pesan di website, blog, Facebook, Twitter, dan media sosial lainya.

"Salah satu contohnya adalah bahasa yang seakan dibuat untuk dirinya sendiri, namun sejatinya itu adalah perintah kepada operator lain atau kepada rekanan mereka yang nantinya bertugas eksekusi di lapangan," ungkap penulis novel dan buku-buku best seller ini.

Jaringan teroris yang sudah berafiliasi dengan Al-Qaeda atau ISIS bahkan sudah menggunakan sandi terenkripsi. Sehingga para pelaku teror ini akan mencari orang-orang yang terpercaya dan paham dalam memecahkan pesannya.

"Anggota mereka biasanya memiliki kemampuan untuk memecahkan pesan terenkripsi tersebut, salah satu contoh adalah saat aksi terorisme di Paris beberapa waktu lalu, pihak ISIS menggunakan konsol game PlayStation 4 (PS4) untuk berkomunikasi, merencanakan serangan, dan merekrut anggota, artinya alat komuniasi mereka sangat dinamis dan canggih,"tukasnya lagi.

Selain aparat Kepolisian, Mujahidin juga berharap agar masyarakat Indonesia bisa berperan dalam mempersempit para pelaku aksi terorisme tersebut. Namun menurut Mujahidin, pemerintah juga berkewajiban mengedukasi masyarakat dimana kesadaran mereka masih rendah dan masih belum memhami betul dengan adanya kasus seperti ini.

"Masyarakat masih belum terbiasa untuk membedakan mana ideologi teroris dan mana doktrin agama, maka peran para ulama dan tokoh agama disini sangat penting guna memberikan pemahaman yang baik terkait dengan ajaran agama yang benar. Apalagi saat ini para pelaku teror sudah membaur dengan warga dan melakukan penyamaran dengan berbagai organisasi keagamaan maupun organisasi sosial," pungkasnya. ***

Catatan: Mujahidin Nur merupakan pengamat terorisme dan penulis buku-buku ternama, salah satu karyanya adalah buku kisah Syekh Abdul Rasyid, Hafiz Cilik dari Pekanbaru "Suara dari Surga.