MEDAN - Sunan Andika Nasution (17), pelajar kelas 3 SMA Bunga Bangsa Jalan Sei  Deli Medan mendapat penganiayaan berat di sekolahnya oleh 8 orang pria di sekolahnya, Jumat (27/11). Guru-guru sekolah tersebut tidak kuasa mencegah kebringasan pria tersebut, mereka mencari Sunan yang disebut-sebut sebagai tersangka penganiayaan yang diadukan MZ ke Polsek Medan Barat 4 September lalu. Setelah mengetahui Andika sembunyi disalah satu ruang kelas, maka sejumlah pria diantaranya berinisial Z dan F beserta sejumlah preman dan oknum Polisi menghajarnya sampai babak belur, bahkan sempat mentah darah. Masih di dalam sekolah korban digiring dan diborgol, kemudian di luar sekolah dia diserahkan kepada polisi dan polisi memborgolnya lagi sehingga ada dua borgol di tangannya.

Setelah diperiksa di Mapolsek Medan Barat, Sunan dikembalikan kepada orangtuanya dan kemudian dirawat di RS Sufina Aziz Jalan Karya Medan. Kejadian itu menimbulkan keprihatinan Komisi A DPRD Medan sehingga wakil rakyat ini menjeguknya). Dewan dipimpin Ketua Komisi Roby Barus, SE, Drs Herri Zulkarnaen Hutajulu, MSi, Waginto, Hj Umi Kalsum dan Hj Hamidah. Sampai masih dalam perawatan di rumah sakit, Sunan masih mengenakan baju sekolah pramuka ketika dia dianiaya.

Di rumah sakit Sunan ditemani ibunya Isli, warga Jalan Karya Dame Gang Pisang, Kelurahan Sei Agul, Medan Barat. Isli menceritakan, kejadian bermula ketika Amrin Nasution (ayah Sunan) bertikai dengan MZ, Amrin dianiaya MZ. Tidak rela melihat ayahnya dianiaya, Sunan datang menolong dan menghajar MZ. Akhirnya kedua belah pihak saling membuat pengaduan polisi, MZ mengadu ke Polsek Medan Barat sedangkan Amrin ke Polsek Helvetia.

Diduga MZ tidak sabar karena Sunan belum juga ditangkap, maka dia mengambil inisiatif menangkap pelajar itu dari sekolahnya. Dia dibantu sejumlah pria, ada yang menggunakan pentungan sekuriti, Sunan mengatakan ada juga polisi di lokasi sekolah. Tas kejadian itu Amrin membuat pengaduan ke Poresta Medan, Sabtu (28/11). Menanggapi kejadian itu, Roby Barus menyarankan agar korban mengadukan oknum polisi tersebut ke Propam Poldasu.

Karena anak pelajar yang melakukan tindak pidana harus ditangkap sesuai prosedur, yakni dengan surat penangkapan dan harus didampingi guru. Sebisa mungkin pelaku tidak boleh ditangkap di sekolah, apalagi dengan kekerasan di depan guru dan siswa lainnya sehingga sekolah tersebut jadi tidak berwibawa. “Diakan bukan teroris atau ISIS, kenapa menangkapnya seperti itu, kan tidak lazim, hormatilah dunia pendidikan,” ucap Roby.

Hal senada dikatakan Ketua Fraksi P Demokrat Heri Zulkarnaen, menyesalkan penangkapan dengan cara menyeret-nyeret sehingga melanggar UU perlindungan anak. Apalagi persoalan itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan, tapi sayangnya seorang pelajar jadi target penangkapan di sekolah dengan cara tidak lazim.”Itu sangat tidak manusiawi, kan bisa lebih santun, dengan surat penangkapan, lewat Kepala Sekolah kan lebih terhormat,” terang Sekretaris Divisi Pengabdian Masyarakat dan Program pro Rakyat DPPP Demokratini.

Kapolsek Medan Barat AKP Victor Ziliwu, SH, SIK, MH melalui Kanit Reskrim Iptu Oscar membantah kalau anggota Polsek Medan Barat ada melakukan penangkapan. Polisi menerima laporan dari MZ bahwa mereka telah menangkap tersangka, kemudian petugas datang lalu menerima Sunan lalu memborgolnya. “Tidak ada dua borgol di tangan Sunan, petugas kami memborgol ketika tersangka belum terborgol, bisa saja yang menangkap itu yang memborgolnya, kan borgol bisa dibeli,” ucapnya.

Tapi Kapolsek tidak mentolelir cara-cara penangkapan dengan pengaiayaan yang dilakukan MZ dkk. Tapi dia menyesalkan korban tidak memberitahukan kalau dia dianiaya, karena kalau polisi tahu pelaku segera ditangkap. Ditanya apakah pihak korban bisa melakukan penangkapan tanpa surat perintah penangkapan dari Polisi. Oscar menjawa bisa saja, kalau ada melihat tersangka yang sudah diadukan bisa ditangkap dan menyerahkannya kepada polisi. “Atas kejadian yang menimpa Sunan itu, pihak keluarga sudah membuat pengaduan ke Polresta Medan,” ucap Oscar. ***