Kisah Meriam Puntung cukup melegenda bagi warga Kota Medan. Karenanya meriam yang berada di dalam komplek Istana Maimun tersebut kerap diziarahi oleh pengunjung yang datang ke istana kebanggaan warga Kota Medan ini. Berdasarkan hikayat, Meriam Puntung (Meriam Buntung dalam bahasa Karo) adalah penjelmaan dari adik Putri Hijau dari Kerajaan Haru yang memerintah sekitar tahun 1594 Masehi. Saat itu Putri Hijau yang cantik jelita tersebut masih beragama kepercayaan nenek moyang.

Suatu ketika, Putri Hijau mendapatkan pinangan dari Sultan Aceh, namun kemudian ditolaknya. Mendapatkan penolakan itu, Sultan Aceh memutuskan untuk menyerang Kerajaan Haru.

Lalu Sultan Aceh mengirimkan Panglima Gocah Pahlawan untuk menyerang Kerajaan Haru. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.

Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. 

Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang emas, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.

Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua.

Pecahannya terpental ke dua tempat yang berbeda. Salah satu ujungnya terpental ke Kampung Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Tanah Karo sekarang. Sementara itu, ujung yang lainnya kini berada di bangunan yang berada di halaman Istana Maimun. 

Keduanya hingga sekarang masih dapat ditemui di kedua tempat itu dan menjadi benda yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Karena banyak berkembang cerita mistis mengenai keberadaan meriam tersebut. 

Hingga kini diatas meriam tersebut seringkali diberikan bunga, sementara didekat ujung meriam yang terpecah ditaruh satu baskom air. 

Sementara Sang Puteri Hijau dibawa oleh kakaknya yang berubah menjadi ular besar ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan memasuki Sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.

Sedangkan satu versi lainnya menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap. Dia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. 

Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, dia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.

Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari dalam laut muncul jelmaan saudaranya, ular besar. Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan Pulau Berhala.