JAKARTA - Selama tiga pekan beruntun, turnamen Federasi Tenis Internasional (ITF) Men’s Futures digelar di Jakarta. Tapi para petenis Indonesia belum mampu bersaing dalam kejuaraan internasional itu. Dalam turnamen bertajuk Combiphar Tennis Open ini, hanya pasangan ganda putra Justin Barki/Christopher Rungkat yang mampu menjadi juara. Pada pertandingan babak final di Lapangan Tenis Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu lalu, mereka mengalahkan unggulan keempat dari Polandia, Karol Drzewiecki/Maciej Smola, 6-4, 6-4.

Pencapaian Justin/Christo meraih gelar juara ganda kejuaraan bertajuk Indonesia F6 ITF Men’s Future ini merupakan hasil terbaik petenis tuan rumah dalam kejuaraan berhadiah total US$ 30 ribu atau sekitar Rp 400 juta ini.  

”Gelar juara ini merupakan prestasi yang mengagumkan,” kata Justin, yang masih berusia 16 tahun. Dia berhasil memboyong gelar internasional pertamanya bersama Christopher setelah mengikuti empat turnamen pada tahun ini.

Menurut bekas petenis putri nasional, Angelique Widjaja, prestasi tenis Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Setelah era Yayuk Basuki sampai dirinya pada awal 2000, tak ada lagi petenis Indonesia yang mendunia. 

“Kalau dilihat dari grafiknya, kondisi saat ini jelas menurun,” kata Angelique saat dihubungi pada Senin lalu.

Angelique, yang pernah mencapai peringkat ke-55 dunia tunggal putri, mengatakan petenis Indonesia saat ini membutuhkan banyak turnamen untuk diikuti. 

Menurut dia, meski sudah ada turnamen internasional, termasuk 6 turnamen Men’s Futures dan 2 turnamen Women’s Circuit, tetap saja belum cukup untuk meningkatkan kualitas petenis.

Petenis Indonesia yang ingin terjun ke profesional, menurut Angie, harus menambah pengalaman bertanding di luar negeri dan terus-menerus mendongkrak peringkatnya. 

“Tidak bisa hanya mengandalkan turnamen yang ada di dalam negeri,” kata peraih medali emas tunggal putri Asian Games 2002 itu. 

Untuk menembus 100 besar dunia, Angie mengatakan seorang petenis membutuhkan latihan teknik dan fisik dengan disiplin yang tinggi. Mereka lantas perlu mengikuti berbagai turnamen untuk menambah pengalaman. “Sebab, kalau sudah mencapai top 100, yang menentukan menang atau tidak adalah mental petenis itu.”

Dari pengalamannnya, mental itu bisa didapat dari mengikuti berbagai turnamen dan terus bertanding, bukan dari latihan yang keras. “Itu sesuai dengan pengalaman saya dulu,” kata petenis yang merebut gelar juara junior Wimbledon 2001 dan junior Prancis Terbuka 2002 itu.

Angelique berharap Pengurus Pusat Persatuan Lawn Tenis Indonesia (PP Pelti) mendukung petenis-petenis berbakat Tanah Air. Selain memperbanyak turnamen di dalam negeri, Pelti perlu mendukung petenis bisa bertanding di turnamen luar negeri. “Saya melihat banyak petenis Indonesia yang punya potensi, tapi mentok di dana, sehingga mereka akhirnya putus asa.”

Sepanjang tahun ini, petenis Indonesia yang paling banyak berprestasi adalah Christopher. Ia merebut gelar juara tunggal pada Men’s Futures 1 dan 2 di Jakarta dan Makassar. 

Berpasangan dengan David Agung, Christopher memenangi ganda Men’s Futures 3. Petenis Indonesia lainnya, Sunu Wahyu Trijati/Armando Soemarno, merebut juara Men’s Futures 3. 

Sedangkan untuk putri, pasangan Beatrice Gumulya/Jessy Rompies merebut juara Women’s Circuit di Jakarta pada Oktober lalu.