JAKARTA - RUU Omnibus Law yang dirumuskan pemerintah mendapat kritikan dari berbagai pihak, karena dinilai lebih berpihak kepada kepentingan investor. Dikutip dari merdeka.com, Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah turut mengkritisi RUU Omnibus Law tersebut. Menurut anggota Komisi X DPR RI itu, rencana penyederhanaan peraturan perundangan untuk membuat efektifitas dan efisiensi regulasi adalah ide yang baik, namun perlu dikuatkan dasar kepentingannya.

''RUU ini selayaknya dihadirkan terutama untuk menguatkan kemunculan, perkembangan dan proteksi pada produk dalam negeri, pada para pengusaha mikro, kecil, menengah dan termasuk juga untuk memberi perlindungan pada tenaga kerja, konsumen dan masyarakat Indonesia secara umum,'' kata Ledia dalam siaran pers, Rabu (22/1).

Dengan demikian, papar Ledia, keinginan pemerintah menyegarkan iklim investasi harus dilandasi dengan keberpihakan pada kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, termasuk para pekerja dan konsumen muslim.

''Isu terhapusnya hak-hak dan perlindungan bagi pekerja, serta perlindungan konsumen muslim dari makanan yang tidak halal hanya sebagian dari contoh betapa perbincangan pembahasan RUU ini masih terkesan lebih berfokus pada bagaimana bisa membuka keran investasi seluas-luasnya, tapi abai pada perlindungan bagi masyarakat,'' tambah dia.

Sebelum pembahasan RUU ini menjadi lebih teknis, Ledia mengingatkan, pemerintah untuk menjadikan penguatan dukungan dan perlindungan pada produk dalam negeri, pengusaha UMKM, tenaga kerja dan masyarakat Indonesia secara luas sebagai landasan pembuatan naskah RUU.

''Jadi, meski kita sangat ingin melakukan penyegaran iklim investasi, dengan di antaranya menyederhanakan regulasi dan membuka jalan kemudahan bagi para investor, keberpihakan dukungan dan perlindungan pada masyarakat Indonesia harus diutamakan, bukan dikalahkan demi investasi,'' jelas Ledia.

Cabut Aturan Produk Halal

Sebelumnya diberitakan, pemerintah akan mencabut aturan tentang wajibnya produk bersertifikat halal. Pencabutan pasal dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal itu telah dituangkan dalam draft RUU Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja.

Dikutip dari republika.co.id, penghapusan tersebut tertulis dalam pasal 552 draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. ''Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,'' bunyi pasal 552 draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang diterima Republika.co.id, Selasa (21/1).

Pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2014 berbunyi, ''Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal''.

Selain pasal 4, Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja juga mencabut pasal 29, pasal 42, pasal 44 yang menjadi turunan pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2014. Berikut bunyi masing-masing pasal yang dicabut.

Pasal 29

(1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH.

(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen: a. data Pelaku Usaha; b. nama dan jenis Produk; c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan d. proses pengolahan Produk.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 42

(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.

(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 44

(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.

(2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.***