JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jomowi) mengaku ingin menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun ironisnya justru menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dikutip dari tempo.co, dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai pernyataan Jokowi ingin menguatkan KPK dengan menyetujui revisi UU KPK tersebut adalah meyesatkan. Sebab, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni pelemahan KPK.

''Menyesatkan kalau dia bilang ke publik masih mendukung KPK,'' kata Bivitri saat dihubungi Tempo, Sabtu (14/9/2019).

Bivitri menjelaskan, langkah Jokowi sudah keliru saat ia memutuskan mengirim surat ke DPR yang membuat revisi UU KPK ini bisa dibahas. Alasannya, kemunculan revisi UU KPK ditengarai menyalahi prosedur.

Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kata Bivitri, peraturan yang bisa dibahas oleh dewan harus masuk dalam program legislasi nasional priotas. Sementara revisi UU KPK tidak ada di dalamnya.

''Jadi dia nyelonong masuk. Ini melanggar undang-undang tadi. Kalau mau bertindak secara hukum dengan benar seharusnya dia (Jokowi) bilang 'saya menolak karena tidak sesuai dengan undang-undang'. Lah, ini masih dikirim saja surat presiden,'' tuturnya.

Surat presiden kepada DPR itu juga menimbulkan polemik. Bivitri menjelaskan, DPR seharusnya tidak lagi melahirkan keputusan politik yang memiliki dampak besar sementara masa jabatan mereka di periode 2014-2019 tinggal menghitung hari.

''Ini menyesatkan karena dengan dia mengirim surpres, artinya RUU-nya mulai bisa dibahas, secara proses kan, mustahil membuat satu UU yang bagus, yang diperdebatkan dengan baik dalam waktu kurang dari sepuluh hari. Itu kan mustahil,'' katanya.

Dari sisi substansi, Jokowi dinilai ikut melemahkan KPK kala menyetujui adanya dewan pengawas untuk lembaga antirasuah itu. Pandangan Jokowi yang menganggap keberadaan dewan pengawas hal yang wajar dalam mekanisme check and balances disebut tidak tepat.

''Dalam hukum tata negara pengawasan tidak selalu dalam bentuk lembaga tersendiri. Bisa juga dengan mekanisme. Siapa bilang setiap lembaga harus ada lembaga pengawasnya, itu pandangan keliru,'' kata dia.

Sikap Jokowi ini, kata Bivitri, mengingkari janjinya menguatkan KPK dalam kampanye pemilihan presiden 2014. ''Nah Nawacita itu saya ingat betul di poin ke-4, di rincian program, salah satunya menguatkan KPK. Ini benar-benar bertolak belakang dari janji 2014,'' tuturnya.

Presiden Joko Widodo  sebetulnya memegang kekuasan besar untuk mencegah tamatnya riwayat KPK sebagai lembaga superbodi.  Tapi sikap Presiden justru  segendang sepenarian dengan manuver DPR.***