JAKARTA - Calon anggota pengibar bendera pusaka (Paskibraka) tingkat Kota Tangerang Selatan, Aurellia Qurratuaini (AQA) meninggal dunia pada masa pelatihan, Kamis (1/8/2019) lalu. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapati fakta, terjadi sejumlah kekerasan terhadap korban. Dikutip dari merdeka.com, dalam laporan yang diterima KPAI, berbagai bentuk kekerasan diterima gadis berusia 16 tahun itu selama menjalani pelatihan dari tanggal 9 hingga 31 Juli 2019.

''Kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan tujuan apapun tidak dibenarkan. Kekerasan tidak diperkenankan juga meski dengan alasan untuk mendidik dan mendisiplinkan,'' tegas Komisioner KPAI Bidang pendidikan, Retno Listyarti.

Menurut Retno, kekerasan fisik juga tidak berhubungan dengan ketahanan fisik. ''Jadi sulit dipahami akal sehat ketika pasukan pengibar bendera dilatih dengan pendekatan kekerasan dan bahkan dilatih ketahanan fisik dengan berlari membawa beban berat di punggungnya, apalagi anggota Paskibra tersebut semuanya masih usia anak,'' ujarnya.

Pada sisi lain, meskipun orangtua AQA tidak melaporkan kasus meninggalnya ananda AQA ke kepolisian, namun polisi sudah berinisiatif mendatangi keluarga AQA.

''Bahkan tidak hanya Polres Kota Tangsel, namun pihak Polda Metro Jaya juga mendatangi pihak keluarga, guna meminta keterangan dan bahkan pada kesempatan tersebut, pihak keluarga juga menyerahkan alat bukti berupa buku diary dan ponsel ananda AQA untuk proses pemeriksaan pihak kepolisian," jelasnya.

Berdasarkan penelusuran KPAI, Retno mengungkap catatan kekerasan yang dialami Aurel selama pelatihan. Berikut daftarnya:

(a) AQA mengaku pernah ditampar seniornya saat menjalani pelatihan paskibra di kota Tangsel.

(b) AQA mengaku pernah diperintahkan makan jeruk dengan kulitnya, saat mengikuti pelatihan paskibra di kota Tangsel, hal ini tentu berpotensi membahayakan kesehatan pencernaan seorang anak.

(c) AQA mengaku pernah diperintahkan melakukan push up dengan mengepal tangan saat dihukum akibat timnya melakukan kesalahan saat pelatihan, sehingga menimbulkan luka pada tangannya.

(d) AQA mengaku diminta mengisi buku diary setiap hari, ditulis tangan, dijadikan PR yang harus dikumpulkan setiap pagi, harus ditulis berlembar-lembar.

(e) AQA mengaku ada 4 temannya yang tidak mengumpulkan buku diary, kemudian berimbas pada perobekan buku diary satu tim AQA, lalu diperintahkan untuk menulis kembali dari awal dengan tulisan tangan, hal ini sempat dikeluhkan AQA karena dia sangat kelelahan menulis kembali diary yang disobek oleh seniornya tersebut.

(f) AQA mengaku diperintah berlari keliling lapangan dengan membawa tas ransel berat yang berisi 3 kg pasir, 3 liter air mineral dan 600 ml teh manis.***