JAKARTA - Chairman Jababeka Group Setyono Djuandi Darmono menyarankan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghapuskan pelajaran agama di sekolah. Saran Darmono ini dinilai Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bagian dari upaya sekularisasi yang bertentangan dengan Pancasila. ''Ini ide sekularisasi yang menjauhkan generasi bangsa dari nilai-nilai agama. Ide atau wacana ini bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan tujuan pendidikan nasional yang sangat menekankan nilai-nilai pendidikan agama di sekolah. Kami menolak tegas wacana ini,'' tegas Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini dalam keterangan tertulis yang diterima republika.co.id, Jumat (5/7).

Diingatkan Jazuli, saat ini bangsa Indonesia tengah konsentrasi untuk bersama-sama memperkuat dan mengefektifkan materi/muatan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Sehingga mampu membentuk siswa didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia sebagaimana amanat Pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas.

Selain itu, lanjut Jazuli, ada lima amanat Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) kepada Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin. Misalnya, berisi harapan untuk lebih memperhatikan pendidikan pesantren sebagai upaya menguatkan pendidikan karakter.

Amanat PBNU jelas menegaskan pentingnya pengarusutamaan pendidikan agama dalam hal ini pendidikan agama Islam. Salah satunya dengan memperbaiki kurikulum yang menekankan peningkatan akhlakul karimah dengan menonjolkan keteladanan Nabi Muhammad SAW. Bukan malah menghapusnya dari sekolah.

''Kami di DPR juga sangat konsen dengan penguatan pendidikan agama di sekolah melalui penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Agama,'' kata Jazuli

Jazuli menambahkan, RUU ini juga digagas dan ditunggu berbagai ormas keagamaan karena muatannya yang positif dan konstruktif. Karena itu, wacana penghapusan pendidikan agama di sekolah, bertolak belakang dengan semangat kebangsaan Indonesia. Pengusul dinilai tidak memahami semangat nasionalisme Indonesia yang relijius dengan agama sebagai sumber keyakinan, nilai, dan pembentuk karakter generasi bangsa.

''Hal itu jelas termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945: Sila pertama Pancasila, Pasal 29 UUD tentang Hak Beragama, Pasal 31 UUD tentang Pendidikan Nasional,'' tegasnya.

Bahkan, anggota Komisi I ini lebih menyayangkan alasan yang dijadikan dasar menghapus pendidikan agama di sekolah, yaitu dianggap menyebabkan perpecahan di antara siswa serta maraknya politik identitas, radikalisme, dan intoleransi. Jazuli menegaskan, pemikiran tersebut sangat berbahaya dan kental dengan sekularisasi yang bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi.

''Pemahamannya salah kaprah dan menjurus pada fobia terhadap agama. Saya kira wacana ini tidak boleh dikembangkan, Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama harus bersikap tegas menghentikan wacana yang kebablasan ini,'' tutup Jazuli.

Hapus Pelajaran Agama

Dikutip dari jpnn.com, Setyono Djuandi Darmono atau orang mengenal dengan sebutan S.D. Darmono menyebut, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.

''Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,'' kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Tanpa disadari, lanjut chairman Jababeka Group ini, sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan.

Sebagai gantinya, mapel budi pekerti yang diperkuat. Dengan demikian sikap toleransi siswa lebih menonjol dan rasa kebinekaan makin kuat.

''Siswa harus diajarkan kalau mereka itu hidup di tengah keanekaragaman. Namun, keanekaragaman dan nilai-nilai budaya itu yang menyatukan bangsa ini, bukan agama,'' tegasnya.

Kalau agama yang dijadikan identitas, lanjut Darmono, justru akan memicu radikalisme. Ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, belum tentu negara tetangga yang seagama bisa menerima.

''Kita harus jaga bangsa ini dari politik identitas (agama). Kalau negara ini hancur, yang rugi kita sendiri. Memangnya kalau kita pindah ke negara lain yang seagama, kita bisa diterima, kan tidak. Makanya rawatlah negara ini dengan nilai-nilai budaya, bukan agama,'' bebernya.

Dia menyarankan Presiden Joko Widodo untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama harus jadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Pendidikannya cukup diberikan di luar sekolah, misalnya masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya.

''Kalau mau merawat persatuan dan kesatuan bangsa, itu harus dilakukan. Cuma saya melihat presiden tersandera oleh berbagai macam kepentingan politik. Jika ini tidak diubah, sampai kapan pun agama akan dijadikan alat politik indentitas,'' tandasnya. ***