JAKARTA - Keputusan Joko Widodo (Jokowi) memilih Kiai Haji (KH) Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden (Cawapres) untuk mendampinginya pada Pilpres 2019 mendatang, dinilai menggembirakan sekaligus menggelisahkan warga Nahdlatul Ulama (NU) atau kaum nahdliyin. Penilaian itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam. Dijelaskan Umam, di satu sisi, posisi Kiai Ma'ruf akan memberikan banyak manfaat politik dan logistik bagi sel-sel politik NU. Di sisi lain, NU dinilai tidak netral.

''Manuver-manuver politik saat ini mengindikasikan bahwa partai-partai berbasis NU telah secara vulgar memanfaatkan kelembagaan NU sebagai alat deal-deal politik praktis yang bertentangan dengan spirit Khitah 1984,'' katanya kata Umam di Jakarta, Jumat (10/8), seperti dikutip dari republika.co.id.

Menurut Umam, ini berpotensi akan merepotkan NU. Sebab, masuknya Kiai Ma'ruf ke politik praktis akan memaksa NU untuk selalu pasang badan menghadapi serangan-serangan terhadap individu Kiai Ma'ruf.

Dikatakannya, Kiai Ma'ruf berpotensi diserang dengan isu gratifikasi dan jual beli sertifikasi halal. Hal ini khususnya terkait dengan impor daging sapi yang sempat menguap. 

''Karena itu, wajar jika banyak yang menyayangkan bahwa Kiai Ma'ruf yang telah menjadi begawan bangsa, justru bersedia banting setir memasuki ruang politik praktis,'' kata doktor ilmu politik dari School of Political Science & International Studies, University of Queensland, Australia itu.

Pilihan Tengah

Sementara pengamat politik Ray Rangkuti menilai dipilihnya Ma'ruf Amin sebagai Cawapres kubu Joko Widodo adalah pilihan tengah. Hal ini menyusul adanya partai yang menolak nama Mahfud MD sebagai pasangan Jokowi.

''Alasan paling mendasar karena ada penolakan dari koalisi yang mendukung Jokowi. Di antaranya ada PKB dan saya dengar juga Golkar. Mereka keberatan kalau yang dipilih Mahfud MD,'' ujar Ray saat dihubungi republika.co.id, Jumat (10/8).

Nama Mahfud MD memang sempat muncul dan diprediksi kuat sebagai pasangan Jokowi beberapa jam sebelum deklarasinya pada Kamis malam. Namun dugaan ini ternyata melenceng.

Bagi beberapa pihak, Mahfud MD dianggap sebagai saingan. Sosoknya memiliki potensi menjadi lawan di pemilihan presiden 2024 mendatang. ''Mereka lebih merasa nyaman jika memilih sosok yang tidak lagi memiliki kesempatan untuk maju di pilpres berikutnya. Makanya nama Ma'ruf Amin muncul,'' lanjut Ray.

Pertimbangan lainnya, Ma'aruf Amin dianggap dapat melawan isu SARA khususnya agama yang dapat menerpa Jokowi. Ma'ruf Amin memiliki kekuatan dan pengaruh untuk hal tersebut.

Meski dianggap sebagai pilihan tengah, Ma'ruf Amin tentu memiliki kelemahan. Pasangan Jokowi-Ma'ruf lemah untuk suara pemilih milenial.

Sosok Ma'ruf Amin kurang diminati bagi kelompok pemilih pemuka atau milenial. Bahkan bagi kelompok pejuang toleransi dan pluralisme, Ma'aruf Amin bukan sosok yang nyaman bagi mereka. ''Setiap pilihan pasti ada risikonya. Salah satu cara menaikkan suara bagi mereka ya di masa kampenye nanti. Ada 10 bulan waktunya,'' lanjut Ray.

Presiden Joko Widodo menjelaskan ia memilih Kiai Ma'ruf Amin sebagai Cawapres, atas dasar kebinnekaan. 

Ia mengatakan Ma’ruf Amien merupakan sosok yang tepat yang memiliki latar belakang yang mumpuni. Selain sebagai tokoh agama, Ma'ruf juga pernah menjabat di berbagai posisi. 

''Beliau sebagai anggota DPRD, DPR RI, MPR RI, wantimpres, rais am PBNU dan juga ketua MUI. Dalam kaitannya dengan kebimnekaan Profesor Ma'ruf Amien saat ini juga menjabat sebagai dewan pengarah BPIP,'' kata dia Jokowi dalam deklarasinya di Restoran Plataran Menteng, Jakarta, Kamis (9/8). 

Jokowi menilai keputusan kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden dan menggandeng Ma’ruf diambil setelah mendapatkan berbagai masukan. Jokowi mengaku mendengarkan saran dari para ulama, ketua umum partai, dan seluruh pengurus partai serta relawan pendukungnya.***