JAKARTA - Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) membongkar dugaan praktik kecurangan dalam sistem pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta pada era kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Dikutip dari sindonews.com, KAKI menemukan dugaan adanya mafia proyek yang menguasai Unit Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (UPPBJ) Pemprov DKI Jakarta di era Ahok-Djarot.

''Modusnya, mafia proyek memanfaatkan peluang pada sistem tender pengadaan barang dan Jasa. Ada yang aneh, ketika UPPBJ menunjuk pemenang tender proyek rehab berat tahun 2017 yang waktu itu masih dipimpin Ahok-Djarot,'' ujar Ketua Umum KAKI, Arifin Nur Cahyono, kepada wartawan, Sabtu (19/5/2018).

Saat itu, sebut Cahyo, terdapat sekitar 118 sekolah di Jakarta yang sistem tender rehab gedungnya dimenangkan PT MKI. Belakangan proyek tersebut banyak menuai masalah.

''Dari pantauan kami, permasalahan ini tak lepas dari keteledoran dan oknum Kepala Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa Balai Kota Jakarta inisal FRM yang sangat dipercaya penguasa (pemimpin) lama DKI Jakarta untuk mengatur proyek itu,'' tandasnya.

Cahyo menduga oknum FRM inilah yang selama ini berperan agar para para mafia proyek leluasa memilih perusahaan yang dijadikan pemenang tender.

''Jadi modusnya para mafia proyek ini selalu mempengaruhi atau bekerja sama dengan panitia lelang dalam hal ini ULP (Unit Layanan Pengadaan). Dimana panitia lelang melakukan penilaian secara subyektif dan mengkondisikan agar perusahaan tertentu yang menang,'' tegasnya.

Para mafia itu, lanjut dia, akan mencari perusahaan lain atau meminjam bendera perusahaan lain untuk sekadar dipakai sebagai nama perusahaannya saja. Hal inilah yang terjadi pada kasus pengadaan proyek rehabilitasi 118 gedung sekolah yang bermasalah pada 2017 silam.

''Selain perusahaan milik mafia, banyak sekali perusahaan fiktif yang dipakai sebagai bendera untuk memenangkan proyek. Padahal setelah kita telusuri, ternyata yang bermain ya kelompok mafia itu sendiri,'' jelasnya.

Bahkan, agar niatannya mulus dalam pemenangan tender, mereka tidak segan-segan mengeruk keuntungan dan asal-asalan dalam mencari perusahaan. Jadi intinya, perusahaan pemenang lelang sejatinya sudah diatur oleh panitia lelang.

''Selalu saja yang menang adalah perusahan yang diduga akal-akalan atau milik para mafia itu sendiri. Kita juga menduga ada beberapa oknum pejabat yang terlibat,'' ucapnya.

Kejanggalan lain, kata dia, si mafia proyek tersebut, setelah dinyatakan menang, maka untuk proyek sejenis lainnya mereka juga akan bermain kembali dengan meminjam bendera perusahaan lain.

''Anehnya lagi, para pemilik perusahaan yang dipinjam benderanya ini justeru tidak tahu menahu jika nama perusahaan dipakai untuk proyek. Mereka baru mengetahui setelah menang dan pemilik perusahaan itu hanya diberikan sejumlah uang jasa (fee) saja,'' bebernya.

Penggunaan bendera perusahaan lain ini bertujuan untuk menghindari adanya kecurigaan karena perusahaan milik mereka yang sering menang dalam beberapa tender sekaligus.

''Kalau satu perusahaan, tentu akan mudah ketahuan auditor. Itulah kenapa mereka meminjam bendera perusahaan lain. Jadi inilah modus para mafia itu untuk mengelabuhi para auditor,'' jelasnya.

Pihaknya juga menemukan fakta bahwa semua bukti-bukti pembelian dipalsukan. Dengan pemalsuan itu, seolah mereka membelanjakan barang senilai harga yang ditetapkan. Padahal nilai harga barangpun mereka gelembungkan (mark-up).

''Sudah pasti mereka selalu memperoleh keuntungan besar melalui trik mark up harga tersebut. Keuntungan itulah yang nantinya akan dibagi-bagi kepada oknum pejabat yang terlibat,'' urainya.

Menurut dia, apabila seluruh proses sejak dari pembahasan draft RAPBD sudah disusupi mafia proyek, maka tentu saja para koruptor dengan mudah akan membobol APBD.

''Untuk itu, kami meminta Gubernur Anies untuk melakukan perubahan personel di BPJB DKI Jakarta. Dan setiap tahun harus ada rotasi personel baru agar praktik mafia ini bisa dihentikan,'' pungkasnya.***