JAKARTA - Siang ini, tiba-tiba Wakil Ketua Badan Legislasi Firman Soebagyo meminta pimpinan DPR menunda pengesahan Rancangan Undang Undang Penyiaran ke sidang paripurna. RUU ini dibawa ke paripurna DPR tanpa melalui pleno di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Ada sesuatu yang harus dijelas.

"Kami akan menjelaskan kepada pimpinan DPR, jam 11.00 (WIB) kami ketemu ketua DPR," kata Firman di gedung DPR, Jakarta, Kamis 1 Februari 2018.

Ia meminta agar pengambilan keputusan atas RUU Penyiaran ini bisa ditunda dan dikembalikan pembahasannya di Baleg. Sebab, Baleg punya tanggung jawab meluruskan informasi yang mungkin salah oleh pimpinan DPR terkait rapat Badan Musyawarah memutuskan membawa RUU Penyiaran ke paripurna pada pertengahan Februari 2018.

"Kalau ini dilanjutkan maka setidak-tidaknya ada dua UU yang akan ditabrak. Yaitu satu tentang tata cara penyusunan RUU, yaitu UU 12/2011 dan kemudian UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 dan juga peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang tatib dan peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2014," kata Firman.

Menurutnya, bila tetap dipaksakan ke paripurna, maka akan menjadi preseden kurang baik. Karena, DPR tidak boleh menabrak UU dan peraturan yang dibuatnya sendiri. Hal ini yang harus menjadi perhatian dari unsur-unsur pimpinan dan perhatian semua.

"Karena dalam pembahasan bukan tidak membahas, tapi ada substansi sesungguhnya, itu yang sedang kami carikan sebuah jalan keluar, yaitu pertama keinginan daripada Komisi I adalah mengarah pada single mux," kata Firman.

Dampak Negatif Single Mux

Ia menjelaskan, kalau single mux diterapkan, maka operator atau industri penyiaran swasta akan berproses ulang untuk mencari frekuensi. Sebab, ada pembentuk lembaga penyiaran baru oleh pemerintah.

"Yang kami lihat sekarang adalah posisi existing dunia penyiaran itu sudah berjalan dan mereka itu mendapat frekuensi sesuai prosedur," kata Firman.

Dia menambahkan, memang faktanya ketika masih analog, terjadi semacam pengelompokan atau penguasaan frekuensi kepada perusahaan tertentu. Namun, dengan adanya UU ini, Baleg sudah secara proaktif mengundang semua stakeholder secara terbuka.

"Kemudian agar dunia usaha itu dapat suatu kepastian hukum, agar mereka itu juga bisa menjalankan fungsi tugasnya sebagai industri penyiaran yang demokratis, maka kami cari solusinya, solusinya adalah cari jalan tengah," kata Firman.

Kemudian, ia mengingatkan, jangan sampai UU dibuat menggeser monopoli di tempat lain dialihkan ke lembaga lain. Sementara itu, UU juga harus bisa menjamin eksistensi pelaku usaha. Sebab dunia usaha dianggap sebagai pilar ekonomi nasional.

"Jangan sampai timbulkan dampak pengangguran," kata Firman.

Ia menjelaskan, frekuensi dikembalikan pada negara keseluruhan agar tidak terjadi sebuah bentuk monopoli di sektor swasta. Tapi di sisi lain kalau frekuensi ditarik semua ke lembaga penyiaran pemerintah, maka UU ini akan membentuk monopoli baru yang menggeser monopoli swasta. Padahal,  Komisi I meminta agar tidak terjadi monopoli di swasta.

"Tapi terjadi pergeseran, ada monopoli baru, ada di lembaga pemerintah. Ini kan tidak fair. Yang kami pikirkan keberadaan lembaga penyiaran swasta yang existing ini," tuturnya.

Berita ini juga sudah dimuat di viva.co.id dengan judul:Baleg Temui Ketua DPR Minta Pengesahan RUU Penyiaran Ditunda