JAKARTA - Mencegah terjadinya dinasti politik di daerah, warga yang memiliki hak pilih diimbau tidak memberikan suaranya kepada calon kepala daerah yang hanya akan dijadikan boneka. Imbauan itu disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. ''Memilih pemimpin itu jangan yang hanya menjadi boneka yang dikendalikan oleh kekuasaan atau kepentingan yang lebih besar, atau berada pada bayang-bayang orang lain. Kepala daerah itu strategis, dia yang akan mengambil keputusan, pembuat kebijakan, kalau begitu (menjadi boneka) ya sama saja bohong,'' tutur dia kepada Republika.co.id, Kamis (11/1).

Karena itu, Titi berharap masyarakat dapat lebih jeli dan meneliti terlebih dahulu rekam jejak calon-calon yang tersedia di daerahnya.

''Teliti rekam jejaknya, jangan terkecoh oleh popularitas, penampilan maupun janji, tapi lihat konsistensi dari seorang calon pemimpin itu. Karena konsistensi dan rekam jejak itu yang memperlihatkan apakah dia akan memenuhi janjinya atau tidak,'' ucapnya.

Titi mengakui politik dinasti pada Pilkada Serentak 2018 ini memang masih berlanjut. Ini karena perhitungan parpol yang terbilang pragmatis saat mengusung pasangan calon. ''Harus dikaji ya, harus dilihat juga data-data yang ada di kabupaten/kota, tapi sejauh ini praktik itu masih berlanjut,'' kata dia.

Kondisi ini karena pengusungan paslon oleh parpol lebih didasarkan pada sosok figur ketimbang pertimbangan lain seperti visi-misi, gagasan atau program yang dimiliki, dan ideologi. Kriteria parpol dalam mengusung calonnya lebih bersifat pragmatis. Misalnya dengan melihat sisi elektabilitas, popularitas, uang dan basis sosial.

''Ini kan rata-rata mereka (calon yang menjadi bagian dari politik dinasti) punya itu,'' ujar dia.

Ada enam provinsi yang masih menjalankan cara-cara politik dinasti di Pilkada Serentak 2018 ini. Enam itu adalah Pilgub Sumatera Selatan, Pilgub Sulawesi Tenggara (Sultra), Pilgub Nusa Tenggara Barat, Pilgub Sulawesi Selatan, Pilgub Maluku Utara dan Pilgub Kalimantan Barat.

Di Pilgub Sumsel, ada pasangan cagub dan cawagub Dodi Reza Noerdin-Giri Ramanda Kiemas. Dodi adalah anak dari gubernur pejawat, Alex Noerdin, sedangkan Giri merupakan keponakan Taufiq Kiemas. Pasangan ini diusung PDIP, PKB dan Golkar.

Di Pilgub Sultra, ada pasangan cagub dan cawagub Asrun-Hugua. Asrun sebelumnya adalah wali kota Kendari dua periode, yang habis masa baktinya pada Oktober 2017 lalu. Kemudian trah kekuasaan di Kota Kendari itu dilanjutkan oleh anaknya, Adriatma Dwi Putra. Asrun juga mempunyai paman yang sekarang menjadi Bupati Konawe Selatan. Selain itu, besan dari Asrun, yaitu Ahmad Safei, adalah Bupati Kolaka.

Dinasti politik pada Pilkada Serentak 2018 ini juga ada di NTB. Kakak dari gubernur NTB Zainul Majdi, Sitti Rohmi Djalilah, menjadi cawagub NTB mendampingi cagub Zulkiflimansyah. Pasangan ini diusung oleh PAN, PKS, Gerindra, dan Demokrat.

Adapun Pilgub Sulawesi Selatan, cagub Ichsan Yasin Limpo, yang berpasangan dengan Andi Muzakkar, ini adalah adik dari gubernur Sulsel saat ini, Syahrul Yasin Limpo. Pasangan ini tidak diusung dari partai tapi melalui jalur independen.

Di Pilgub Maluku Utara, bahkan ada dua pasangan calon yang memiliki hubungan keluarga. Dua paslon tersebut adalah Abdul Ghani Kasuba-Al Yasin Ali yang diusung PDIP dan PKPI, dan paslon Muhammad Kasuba-Madjid Husen yang diusung Gerindra, PKS dan PAN. Abdul Ghani dan Muhammad Kasuba adalah kakak-beradik. Ghani merupakan cagub pejawat. Pada 2014 lalu dia dilantik menjadi gubernur Maluku Utara untuk periode pertamanya. Muhammad Kasuba sendiri adalah mantan bupati Halmahera Selatan.

Ada pun di Pilgub Kalbar, cagub Karolin Margret, yang berpasangan dengan Suryatman Gidot, ini adalah anak dari gubernur Kalbar sekarang, Cornelis. Cornelis adalah gubernur Kalbar dua periode sejak 2008. Paslon Karolin-Suryatman diusung Demokrat dan PDIP.***