JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) baru saja mengeluarkan surat pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.93/VI BHUT/2013 tentang Persetujuan Revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) untuk jangka waktu 10 tahun atas nama PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

Atas keputusan ini, PT RAPP pun harus menghentikan kegiatan operasionalnya. Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham menilai, adanya kebijakan ini tidak hanya merugikan RAPP, tetapi juga masyarakat Riau yang sudah banyak berkembang karena adanya RAPP.

Menurut Supiandi, pencabutan izin RKU tidak dapat dilakukan dalam waktu yang begitu cepat. Pasalnya, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan verifikasi atas indikasi pemanfaatan kawasan lindung sebagai area budidaya.

Sayangnya, menurut Supiandi waktu untuk verifikasi hingga perubahan RKU yang diberikan KLHK tergolong singkat.

''Saran saya sebaiknya perusahaan mengikuti aturan yang ditetapkan KLHK, tetapi menurut saya waktunya sangat sempit. Padahal yang diverifikasi bukan hanya satu atau dua hektar, tetapi ratusan ribu hektare. RAPP juga membutuhkan waktu untuk melakukan perubahan RKU,'' ujar Supiandi, Minggu (22/10).

Supiandi menyebutkan, masih ada perusahaan-perusahaan lain yang memiliki Hutan Tanaman Industri (HTI) di lahan gambut, namun ada pula beberapa perusahaan yang sudah mengikuti aturan yang ditetapkan KLHK tersebut.

Menurut Supiandi, untuk menyelesaikan permasalahan ini, harus ada pendekatan dan komunikasi antara pihak terkait supaya ditemukan solusi yang tepat. Dia juga mengatakan saat ini RAPP masih bisa melakukan negosiasi dengan KLHK.

''Pendekatan dari beberapa pihak harus dilakukan supaya bisa mendapatkan solusi, karena sekali lagi dampaknya sudah melibatkan sosial dan perekonomian banyak orang,'' tambah Supiandi.

Jawaban Menteri

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menegaskan penolakan Rencana Kerja Usaha (RKU) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) adalah upaya paksa pemerintah untuk melindungi ekosistem gambut. Ia pun menyayangkan jika upaya tersebut memunculkan isu pencabutan ijin.

"Akibatnya memunculkan keresahan di masyarakat," katanya melalui keterangan pers, Ahad (22/10).

Keputusan penolakan RKU RAPP diakui Siti telah dengan amanat dasar Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 57 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pada UU tersebut menyatakan, seluruh perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) berbasis lahan gambut harus menyesuaikan RKU mereka dengan aturan pemerintah.

Namun hingga batas waktu yang diberikan, PT RAPP justru tetap memaksa ingin menjalankan rencana kerja sesuai dengan aturan mereka sendiri dan tidak mau mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah.

''Saya mengajak RAPP menjadi perusahaan yang patuh, taat pada aturan di negara ini, sebagaimana perusahaan HTI lainnya yang RKU mereka telah lebih dulu disahkan, dan tidak ada masalah,'' katanya.

Ia menegaskan, tidak mungkin membenarkan sesuatu yang salah atau membiarkannya karena sama artinya pemerintah dipaksa mengalah dan kalah pada sikap pembangkangan dan melawan aturan.

"Pemerintah tidak mungkin melanggar aturan yang dibuatnya sendiri," tegas dia. Sementara aturan tersebut disusun untuk melindungi kepentingan rakyat banyak, dan tidak dibuat hanya untuk kepentingan golongan atau satu perusahaan saja.

Apalagi, hanya PT RAPP (April Group) satu-satunya perusahaan HTI yang tidak mau menuruti aturan pemerintah. Sementara 12 perusahaan HTI lainnya saat ini sudah mendapatkan pengesahan RKU mereka dan tidak mengeluhkan masalah.

Kepatuhan perusahaan-perusahaan HTI berbasis gambut, ia melanjutkan, sangat penting karena selama ini ekosistem gambut mudah terbakar dan menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama lebih dari 20 tahun di Indonesia. Melindungi gambut tidak bisa hanya dengan pemadaman rutin saja, tapi juga pencegahan secara dini dengan melakukan perlindungan gambut secara utuh dan menyeluruh.

Menurutnya, meski RKU RAPP ditolak, bukan berarti ijin dicabut secara keseluruhan. Namun sayangnya yang berkembang justru perihal pencabutan ijin operasional, dan RAPP dinilai semakin membiarkan isu bergulir liar dengan mengancam akan mem-PHK karyawannya.

Ia menjelaskan, yang sebenarnya terjadi adalah KLHK memberi perintah dan sanksi, agar RAPP tidak melakukan penanaman di areal lindung ekosistem gambut. Namun mereka tetap bisa menanam di areal budidaya gambut.

''Jika benar RAPP sayang pada rakyat, mereka harusnya patuh dan berbisnis dengan baik sesuai aturan pemerintah, bukan dengan aturan mereka sendiri. Bisa berbahaya sekali jika semua perusahaan ingin berbisnis dengan aturan mereka dan bukan aturan pemerintah,'' tegas Siti.

Ia pun mendorong RAPP untuk segera merevisi RKU mereka sesuai PP gambut layaknga perusahaan HTI lainnya. Pihaknya pun pada Selasa (24/10) akan memanggil manajemen PT. RAPP untuk pembahasan revisi RKU dan karifikasi manuver-manuver perusahaan yang dinilai sudah jauh melenceng dari substansi persoalan sesungguhnya. ***